Kamis, Desember 19, 2024

Tak cuma cakap digital, pemimpin milenia juga mesti berempati sosial

Must read

Berbeda dengan kaum muda dan sarjana fresh graduate di masa sepuluh tahun silam, dokter, dosen, pegawai negeri sipil atau profesi birokrat masih menjadi cita-cita dan target karier yang ingin mereka capai. Namun, zaman telah berganti. Pilihan karier anak-anak muda sekarang, utamanya kaum milenia, telah berubah. 

Di era digital dewasa ini, mengutip Sabinus Bora Hangawuwali, dosen dan peneliti UGM, kaum milenia yang lahir antara tahun 1981 s.d. tahun 1996 bisa ditebak bakal lebih tertarik memilih jadi YouTuber, selebgram, kreator konten atau merintis usaha start up yang berjejaring dengan marketplace.

”Profesi tersebut lebih menantang untuk dipilih, karena buat mereka hal itu merupakan karier yang memberi pengalaman dan penuh arena petualangan,” ujar Sabinus saat mengawali webinar literasi digital dengan topik ”Tantangan Milenia Menjadi Pemimpin dalam Transformasi Digital”, yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Sukoharjo, 30 Juni lalu.

Memang, lanjut Sabinus, bukan berarti milenia tak tertarik lagi menjadi PNS, karier birokrat atau dunia kemiliteran. Masih banyak, tetapi orientasi hendak berburu pengalaman yang menantang sangat besar. Sebab, kaum milenia punya karakter khas yang selain terbuka, juga cakap digital. Dengan kecakapan digital yang dimiliki, ada tiga hal yang menjadi ciri mereka. Pertama, connected: lebih mudah terhubung secara digital ke dunia luas tanpa batas wilayah lagi. 

Kedua, creative, suka membuat hal dan tantangan baru. Dan ketiga, convidence, percaya diri untuk mencari kebenaran, ilmu dan wawasan baru dengan cara mencari dan menemukannya sendiri lewat peranti digital yang ada, bukan lagi digurui seperti pengajaran ilmu di masa lalu.

”Tiga ciri atau karakter itu pula yang dituntut mesti dimiliki oleh pemimpin masa depan. Tinggal bagaimana pribadi-pribadi mengasah diri terkait ketiga karakter itu. Ditunjang dengan kecakapan digital, moral, dedikasi dan kejujuran, maka yang paling unggul dan menonjollah yang akan tampil di masa datang,” papar Sabinus.

Sabinus mengurai topik itu dalam diskusi virtual bersama tiga pembicara lain: M. Taufik Saputra (fasilitator digital safety dari Kaizen Room), Siti Aminataz Zuhriyah (editor buku dan penulis konten) serta Novi Widyaningrum (peneliti dari Research Center for Population and Politic Studies). Dipandu moderator Fernand Tambubolon, webinar juga menghadirkan anchor TV Safinaz Nachiar selaku key opinion leader.

Dalam paparannya, Siti Aminataz mengatakan, yang mesti diubah oleh milenia adalah mindset mereka terkait citra pemimpin. ”Jangan lagi berpikir, kalau sudah pegang amanah atau jabatan, pemimpin maunya menguasai rakyat. Itu pola lama yang keliru. Pemimpin masa depan mestinya makin melayani rakyat,” tutur Siti.

Siti menambahkan, ada beberapa langkah nyata yang diharap dilakukan pemimpin milenia di era transformasi digital ke depan. Yang utama, jadikan kecakapan digital dan kreativitas serta kuatnya rasa percaya diri kaum milenia itu sebagai modal. Yakni, pemimpin yang bisa menjadi agent of change, pembawa pengaruh perubahan sosial dan segala aspek kehidupan bernegara, berbangsa yang lebih baik, lebih sejahtera, adil, dan lebih merata.

”Kalau itu terwujud, rakyat akan terus mendukung program dan langkah kerja pemimpin yang membawa pengaruh positif buat rakyat dan bangsanya. Di sini, kecakapan digital menjadi modal kokoh untuk mewujudkannya,” papar Siti lebih detail.

Sementara itu, Syafinaz Nachiar berpendapat, meski zaman sudah serba digital, bukan berarti untuk memenuhi keinginan dan tujuan sebagai calon pemimpin di bidang apa pun kita bisa bersikap pragmatis. ”Jangan berpikir I can do everything by phone. Jangan merasa ’ilfil’ dengan isu sosial masyarakat. Mereka kawanmu bertumbuh dewasa dan maju. Terus bangun empati dan peduli sesama, karena di sana kamu akan dicintai sesama. Rintislah kepemimpinan yang cerdas, cakap, dan memiliki empati sosial. Selain itu, tak bisa pemimpin milenia itu terlahir instan, pasti butuh kerja keras,” ujar Syafinaz.

Novi Widyaningrum ikut menimpali. Kata dia, yang juga muncul sebagai dampak dari pemimpin yang terbuka dan suka perubahan adalah lahirnya kerja kolaboratif. Pemimpin yang punya ciri milenial itu tidak suka menonjol dan pengin tampil paling berguna, tidak.

”Pemimpin kreatif justru akan banyak menciptakan kerja kolaboratif. Dia akan tampil di semua sisi kinerja anak buahnya: depan, belakang dan di samping anak buah, untuk mendukung kinerja mereka agar semua karya menjadi hasil kerja kolaborasi semua elemen. Dengan kecakapan digital, dia bangun networking, temukan dan atasi masalah melibatkan semua anak buah. Bukan mengklaim sebagai sukses sang pemimpin. Itu sosok pemimpin idola di masa depan,” papar Novi.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article