Pelecehan seksual merupakan salah satu dari sekian banyak hal negatif yang ditemui di media digital. Isu ini hendaknya menjadi perhatian semua pengguna media digital. Apalagi, kondisi pandemi Covid-19 membuat anak usia dini sudah mulai kenal dengan penggunaan teknologi. Pegiat kewirausahaan sosial Yuni Mustani mengatakan, perilaku negatif seperti pelecehan seksual dapat dicegah jika pengguna media digital memahami dan menerapkan konsep literasi digital yang mencakup digital ethics, digital culture, digital skills, dan digital safety.
Dari perspektif etika digital, Yuni Mustani mengatakan, etika dan etiket merupakan hal paling dasar dalam pola hubungan manusia, baik di kehidupan nyata maupun di ruang digital. Etika menjadi pedoman dalam berperilaku yang menyangkut prinsip dan aturan tingkah laku yang benar. Maka, menerapkan etika di ruang digital dapat mencegah seseorang melakukan kekerasan dan pelecehan.
“Subjek dari dunia nyata dan dunia digital itu sama, yaitu manusia. Bedanya, komunikasi dan interaksi di dunia nyata lebih bersifat privat, sedangkan di dunia digital lebih ke arah publik karena semua yang dilakukan pengguna di ruang digital menjadi konsumsi banyak orang,” ujar Yuni Mustani dalam webinar bertema ”Lawan Pelecehan Seksual di Media Online” yang diselenggarakan oleh Kementerian Kominfo RI untuk masyarakat Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (16/9/2021).
Menurut Yuni, etika digital adalah norma perilaku yang tepat dan bertanggung jawab dalam menggunakan teknologi digital. Dalam berperilaku mesti ada kesadaran dan memiliki tujuan ketika mengekspos diri di ruang digital. Tindakan kita di ruang digital menjadi refleksi dari integritas diri setiap pengguna, dan setiap perbuatan ada konsekuensi yang menjadi tanggung jawab. ”Dan, pondasi dari etika itu adalah kebajikan. Gunakan teknologi untuk hal baik, berperikemanusiaan dan positif,” ujarnya.
Masih menurut Yuni, tata krama beretika digital itu prinsip dasarnya think first, berpikir sebelum bertindak. Saling menghormati dan menghargai pendapat orang lain dengan baik. Sebab, media sosial itu menjadi etalase yang menampilkan diri penggunanya. Apa yang dilakukan merupakan representasi dirinya.
“Kaitannya dengan pelecehan atau kekerasan seksual, etika dan netiket menjadi pembatas agar perilaku buruk tersebut tidak terjadi. Yang perlu kita lakukan adalah tidak berlebihan dalam mengekspos diri, karena akan mempengaruhi oknum dalam menentukan target. Selain itu, biasakan memilah foto sebelum diunggah dan menjaga hal-hal yang bersifat privat. Juga, memilih dan memilah kata dalam menyampaikan komentar, serta tidak berkomentar yang bersifat memancing dan melecehkan,” urai Yuni kepada seratusan peserta webinar.
Sedangkan untuk mengantisipasi munculnya komentar negatif, lanjut Yuni, sebagai pengguna media digital dapat mengatur privacy setting serta mematikan fitur komentar dan share.
Narasumber lainnya, Kepala Pendidikan Madrasah Kanwil Kemenag DIY Fahrudin menjabarkan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi atau iptek harusnya berjalan seimbang dengan memelihara hal baik yang sudah ada sebelumnya dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik. Artinya, budaya digital mengajak masyarakat untuk dapat beradaptasi tanpa meninggalkan nilai-nilai kebaikan.
Kehadiran teknologi memudahkan manusia dalam mengenali orang lain, namun juga menghadirkan dimensi lain berupa kekerasan dan pelecehan seksual. Akan tetapi, yang perlu digaris bawahi dengan hadirnya budaya baru ini adalah teknologi hanya merupakan alat, sedangkan manusia dapat mengatur dirinya untuk memanfaatkan teknologi dengan baik.
”Tindak pelecehan seksual di media online terjadi karena minimnya pengetahuan literasi digital, minimnya pengawasan dan pendampingan orangtua, serta rendahnya tingkat kesadaran pengguna dalam memanfaatkan internet secara bijak,” ujar Fahrudin.
Teknologi memungkinkan komunikasi dapat dilakukan dengan mudah, cepat, dan luas. Oleh sebab itu, untuk mengantisipasi terjadinya pelecehan atau kekerasan seksual di media online bisa diupayakan dengan menjaga privasi kegiatan online.
“Manfaatkan fitur block dan report dari akun media digital ketika menerima pesan yang bermuatan seksual. Tahan diri untuk tidak membalas pesan tersebut agar tidak semakin memperkeruh suasana. Lakukan tindakan tegas untuk mengedukasi bahwa tindakan kekerasan dan pelecehan itu adalah hal yang mengganggu. Juga simpan bukti tindakan tersebut jika diperlukan untuk proses tindakan hukum,” jelasnya.
Diskusi virtual yang dimoderatori oleh kreator konten Nadia Intan ini juga diisi narasumber lain, yakni Gilang Desti Parahita (dosen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM Yogyakarta), Frans Agustinus Jalong (juga dosen Fisipol UGM), serta Gina Sinaga (public speaker) yang menjadi key opinion leader dalam diskusi.
Kegiatan webinar Kominfo itu sendiri merupakan salah satu bagian dari Program Nasional Literasi Digital: Indonesia Makin Cakap Digital yang diselenggarakan secara serentak di berbagai kabupaten/kota. Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan kecakapan masyarakat dalam menggunakan dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.