Dewan Pengawas Perum Produksi Film Negara (PFN) Rosarita Niken Widiastuti mengatakan, pertumbuhan pengguna smartphone dan media sosial yang tidak diimbangi literasi digital menyebabkan berbagai dampak negatif ruang digital terus bermunculan.
Tak hanya hoaks dan penipuan online, ujaran kebencian pun seakan sulit hilang dari jagad ruang digital dan menempatkan Indonesia dalam posisi paling buncit soal tingkat kesopanan di internet dunia.
“Indonesia tingkat kesopanannya berada di urutan ke-29 dari 32 negara atau kawasan partisipan, seperti yang dipublikasikan Microsoft 2020 lalu,” ujar Niken saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema “Bijak Berkomentar di Ruang Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Jumat (17/9/2021).
Dalam webinar yang diikuti ratusan peserta itu Niken pun mengajak warganet tanah air legowo dan bersedia berbenah menciptakan ruang digital yang lebih sehat. “Bisa yuk, kita sama-sama berbenah, terutama di media sosial, dengan memperhatikan berbagai hal positif saat berinternet,” ujarnya.
Hal positif berinternet yang dimaksud Niken di antaranya menjaga kebersamaan dalam hubungan antarpengguna, lebih menghargai perasaan orang lain, menjunjung tinggi kesopanan dari cara berkomentar, bertutur kata dan saat beradu pendapat. Lalu, mengkampanyekan diri sebagai bagian masyarakat yang ramah, bersahabat, dan gotong royong serta memiliki sifat toleransi yang tinggi.
“Kita bisa memulai juga dari memberi penghargaan terhadap orang yang lebih tua, yang setia dengan adat istiadat yang masih dipegang teguh,” kata Niken, yang mantan Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kemenkominfo ini.
Niken mengatakan pentingnya etika berinternet ditanamkan agar dapat digunakan sebagai pedoman atas suatu individu dalam melakukan perbuatan dan tingkah laku. Manfaat etika sebagai penghubung antarnilai, pembeda antara yang baik dan buruk, menjadikan pengguna digital memiliki sikap kritis.
“Jadi, etika bermanfaat sebagai suatu pegangan pendirian dalam diri, membuat sesuatu sesuai dengan peraturan. Bisa juga etika dimaknai sebagai bentuk mengorbankan sedikit kebebasan dalam dirinya,” katanya.
Menurut Niken, berita palsu alias hoaks yang merajalela sebenarnya saat ini tidak hanya beredar melalui situs online, namun juga telah merambah ke berbagai aplikasi perpesanan atau chatting. Padahal, sebagian besar warganet pun tahu risiko jerat hukum untuk penyebar hoaks yang bisa terancam Pasal 28 ayat 1 UU ITE. “Kita perlu ikut melawan konten negatif seperti hoaks ini dengan melaporkannya,” tutur Niken.
Cara melaporkan berita hoaks paling sederhana yakni dengan screen capture informasi hoaks itu, lalu catat dan sertakan url link berita informasi hoaks itu, lantas kirimkan ke [email protected] dan lakukan verifikasi data. ”Kominfo menjamin kerahasiaan pelapor, jadi tak perlu khawatir melaporkan,” tegas Niken.
Narasumber lain dalam webinar itu, dosen Sosiologi Fisipol UGM Yogyakarta Mustaghfiroh Rahayu menambahkan, hasil survei Microsoft yang menyatakan warganet Indonesia paling tidak sopan se-Asia Pasifik banyak faktor yang mempengaruhi.
“Buruknya indeks kesopanan warganet Indonesia dipengaruhi banyaknya hoaks, scam, penipuan, ujaran kebencian dan banyaknya sikap diskriminasi di ruang digital,” ujar Rahayu.
Rahayu mengatakan, di sinilah budaya digital penting dikampanyekan berulang dan kontinyu. Ini soal kemampuan individu dalam membaca, menguraikan, membiasakan, memeriksa, membangun wawasan kebangsaan berdasar nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari sebagai wujud kewarganegaraan digital dalam konteks keindonesiaan.
“Budaya digital ini berada pada domain kolektif formal, membuat setiap individu memiliki tanggung jawab meliputi hak dan kewajiban untuk melakukan seluruh aktivitas bermedia digitalnya berlandaskan pada nilai-nilai kebangsaan,” urai Rahayu.
Rahayu menambahkan, warganet perlu memahami bahwa jati diri kita di ruang digital tak berbeda dengan di ruang non-digital. “Jadi, selalu bersikap sopanlah, baik di dunia maya maupun dunia nyata,” tegasnya.
Webinar yang dimoderatori oleh Githa Nila Maharkesri ini juga menghadirkan narasumber dosen Universitas Sahid Surakarta Farid Fitriyadi, Entrepeneur Seno Adi Nugroho serta Iga Azwika selaku key opinion leader.