Domain digital menjadi arena dan teknologi pertarungan gagasan dan agenda gerakan. Salah satu bentuk konten yang muncul, yakni radikalisme yang bisa membawa dampak pada skala yang lebih luas, nasional hingga global.
Dosen Sosiologi Fisipol UGM, Frans Agustinus Jalong mengatakan, radikalisme merupakan problem dan tantangan demokrasi. Sebab, sebagai pemaksaan kehendak, bercerita tentang tersumbatnya perwakilan politik atau monopoli politik. Selain itu, radikalisme juga sebagai problem ketidaksetaraan sosial ekonomi dan defisit pengakuan. Radikalisme merupakan pikiran dan tindakan yang merasa diri atau kelompoknya paling benar, dan yang lain dianggap keliru.
”Radikalisme berbeda dengan fundamentalisme. Radikalisme berhubungan dengan orang lain sedangkan fundamentalisme berhubungan dengan diri sendiri,” kata Frans dalam webinar literasi digital bertema ”Antisipasi Radikalisme Digital”, yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (17/9/2021).
Frans mengatakan, ada beragam jenis radikalisme dalam domain digital. Yang pertama adalah terorisme, yaitu wujud paling ekstrem dari radikalisme. ”Anak tangga menuju terorisme adalah radikalisme bertahap, dari lantai dasar menuju lantai lima,” ujarnya.
Kedua, yaitu hate speech, berupa wujud verbalisasi dan tekstualisasi dalam radikalisme, dalam wujud ras, gender, kelas sosial-ekonomi; soft hate speech & strong hate speech. Jenis ketiga, yaitu propaganda ideologi politik yakni ideologi politik yang dianut dianggap sebagai sumber kebenaran dalam pengaturan urusan publik.
Lalu, rasisme, yakni pelabelan ras atau suku tertentu dalam strata nilai, berkenaan dengan isu ekonomi, politik dan budaya yang ditujukan untuk melanggengkan dominasi, atau sebaliknya sebagai bahasa perlawanan.
Frans menyebut, akar-akar masalah dari radikalisme ini adalah tersumbatnya saluran aspirasi sosial ekonomi dalam ruang publik. ”Ruang digital menjadi arena penegasan pendapat dan kepentingan dalam wujud yang eksklusif,” kata dia.
Akar masalah lain, yakni teknologi informasi menyediakan ruang dan kesempatan untuk menyebarluaskan pendapat, sentimen dan ideologi yang eksklusif ke berbagai kelompok yang rentan terpapar. Untuk menekan konten radikalisme, menurut Frans, perlu adanya literasi digital untuk politik kewarganegaraan melalui kurikulum pendidikan nasional dan penerapan di berbagai jenjang pendidikan.
Selain itu, diperlukan juga nalar publik yang inklusif, tidak menghakimi dan meniadakan kelompok lain. ”Tetapi mau mendengarkan dan memahami alasan-alasan ekonomi, politik dan budaya di balik pikiran dan tindakan radikal,” ujar Frans seraya berharap kepada remaja sekolah menengah dan mahasiswa menyadari persoalan radikalisme sebagai masalah bersama.
Narasumber lainnya, researcher Paramadina Public Policy, Septa Dinata mengatakan, agar terhindar dari konten-konten negatif di dunia digital, bisa dilakukan dengan beberapa tahapan. Yakni, ketika memperoleh informasi tidak berhenti sampai di kepala berita saja dalam membacanya.
“Konten negatif seperti kabar bohong merupakan masalah besar yang dihadapi masyarakat kita saat ini. Untuk itu, ketika mendapat postingan, cek juga sumber berita lainnya, dan tanyakan pada diri sendiri apakah berita yang kita peroleh itu masuk akal,” ucapnya.
Dipandu moderator Mifty Casko, webinar kali ini juga menghadirkan narasumber Kabag TU Kanwil Kemenag Provinsi DIY Arief Gunadi, Kepala Kemenag Sleman Sidik Pramono, serta News TV Presenter Adinda Daffy selaku key opinion leader.