Mengangkat tema “Kebebasan Berekspresi di Dunia Digital”, webinar yang dihelat pada Senin (9/8/2021) itu diselenggarakan untuk warga masyarakat Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Kegiatan ini merupakan rangkaian dari gerakan nasional literasi digital yang digagas pemerintah untuk menciptakan sumber daya manusia yang cakap digital.
Melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), pemerintah menanamkan empat pilar literasi digital yang meliputi digital culture, digital skill, digital ethics, dan digital safety. Program ini juga merupakan upaya pemerintah dalam mendukung percepatan transformasi digital, yang perkembangannya begitu cepat.
Salah satu narasumber, dosen Fisip Undip Augustin Rina Herawati mengatakan, perkembangan dunia digital sangat luar biasa, sehingga mau tidak mau masyarakat harus menggunakannya hingga menjadi terbiasa. Itu sebabnya, mengikuti perkembangan digital dan beradaptasi dengan budaya digital merupakan keharusan di era saat ini.
Perkembangan dunia digital tidak hanya menggeser perubahan dalam cara berkomunikasi yang lebih mudah, tetapi juga dalam berbisnis dan finansial teknologi. Pertumbuhan transformasi digital rupanya cukup baik diikuti oleh penduduk Indonesia. Hal ini terbukti dari data pengguna smartphone mencapai 171 persen dengan 98 pesen penduduk telah terhubung dengan internet.
“Tantangan penggunaan internet dan media di dunia digital adalah kebebasan berekspresi. Meskipun setiap individu mempunyai hak untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi dan gagasan dalam bentuk apa pun, namun mereka dibatasi dengan hukum yang berlaku. Di Indonesia ada UU ITE yang menjadi payung hukum dalam berekspresi di dunia digital,” jelas Augustin.
Sejatinya ada berbagai dampak positif kebebasan berekspresi. Di antaranya, memberikan akses yang mudah dalam mendapatkan pengetahuan baru dan insight yang lebih luas, meningkatkan ekonomi karena sudah ada berbagai aplikasi yang mendukung dalam kegiatan bisnis dan finansial teknologi, menyalurkan aspirasi juga menjadi lebih fleksibel dengan adanya berbagai platform media sosial.
“Namun, saking bebasnya kebebasan berekspresi, pengguna bisa jadi kebablasan sehingga menimbulkan dampak negatif. Salah satunya adalah meningkatnya ekspresi melalui meme yang bertujuan menjelekkan individu maupun kelompok. Cara ini sering ditemui, karena dianggap sebagai cara yang menyenangkan dan menarik,” lanjutnya.
Untuk menghindari timbulnya dampak negatif dalam berekspresi di dunia digital, jelas Augustin, maka masyarakat harus mampu menjadi orang yang positif dan bijak dalam menggunakan media sosial. Bijak bermedia sosial akan memberikan jejak digital yang positif pula.
“Jangan mudah terprovokasi oleh buzzer yang seringkali menyebarkan hoaks. Kita pahami dulu informasi sebelum menyebarkan. Pahami juga platform media sosial yang digunakan dan ketahui batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh penyedia platform digital. Mengerti sisi hukum, bahwa berekspresi di media sosial juga diatur dalam undang-undang. Juga penting untuk berhati-hati, jangan sampai ketika sedang emosi melampiaskannya di ruang media sosial digital. Spontanitas ini bisa jadi bumerang yang menyerang balik kita sebagai pengguna medsos,” tutupnya.
Dari perspektif lain, dosen Institut STIAMI Jakarta Haswan Boris Muda Harahap mengatakan, fenomena media sosial di ruang digital memiliki tantangan yang cukup riuh, karena semua orang dapat memproduksi dan menyebarkan konten. Sehingga, dibutuhkan visi atau tujuan dalam menggunakan media sosial. Media sosial menjadi ruang-ruang yang tidak pasti, sehingga membutuhkan pemahaman yang lebih. Kompleksitas di media sosial membutuhkan kejelasan, hal apa yang mau disampaikan di sana.
Media sosial juga mengandung ambiguitas, sehingga kita sebagai warga digital harus lincah dalam mengecek informasi yang diterima.
“Hal-hal tersebut perlu diwaspadai, jangan sampai kebablasan dalam berekspresi menjadi masalah baru. Karena itu literasi digital diperlukan, sebab ruang digital tidak lagi sekadar menjadi tempat mencari informasi. Medsos sudah melahirkan era prosumer di mana pengguna juga sekaligus pembuat dan penyebar informasi. Hal ini membuat tsunami informasi yang juga berisi misinformasi, disinformasi, mal informasi dan hoaks muncul di tengah informasi lainnya,” jelas Haswan
Karena itu, dalam bermedia sosial harus menumbuhkan pola pikir yang positif, membangun komunikasi yang baik untuk menjalin jejaring positif, menumbuhkan cara berpikir kritis untuk menambah wawasan agar bisa mengonsumsi informasi sesuai konteks dan konten. Juga, berpikir kreatif dalam menyampaikan ekspresi dengan berkolaborasi.
“Penting dalam berekspresi itu saring sebelum sharing, dan thinking before posting. Pastikan kebenaran informasi sebelum menyebarkannya, dan apakah informasi itu tidak menyakiti orang lain, harus paham apakah yang diunggah itu tidak menyalahi undang-undang. Apakah yang disebarkan itu hal yang penting dan sopan. Pola pikir tersebut harus dipraktikkan sebelum mengunggah atau menyebarkan informasi,” pungkasnya.
Diskusi virtual yang dipandu oleh entertainer Bobby Aulia ini juga menghadirkan narasumber lain: Daryono (editor Tribunnews.com) dan Zusdi F. Arianto (ketua yayasan Quranesia Amrina Rasyada). Juga hadir Dian Rochmad (content creator) sebagai key opinion leader.