Jumat, Desember 20, 2024

Jaga kesopanan di medsos dengan tradisi ewuh pakewuh

Must read

Maraknya kemajuan dunia media sosial satu dekade ini, disadari atau tidak, membuat wong Jowo kehilangan tradisi budaya Jawanya. Bagaimana tidak. Dengan populasi warganet sebanyak 63 persen dari populasi penduduk Indonesia yang berjumlah 274 juta jiwa, selain berisi kaum milenial, sebagian dari mereka tentu berdarah suku Jawa. Padahal, di dunia nyata, orang Jawa dikenal ramah, semanak, sopan dan mudah bergaul.

Ibarat kenal orang lewat depan rumah, yang numpang tanya alamat ternyata saudara jauh, diampirkan dulu ke rumah, lalu dikasih minum. Dan ketika bercakap dengan lawan bicara, kenal tata krama, ewuh pakewuh, segan dan menjaga perasaan serta toleransi. Itu image wong Jowo di dunia nyata,” ujar Anggityas, dosen IAIN Purwokerto, saat berbicara dalam webinar literasi digital bertajuk ”Komunikasi Publik yang Sehat di Era Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk warga Kabupaten Banyumas, 2 Juli 2021.

Tapi, bagaimana ulah sebagian wong Jowo saat berada di dunia maya? Nah, ini yang mengejutkan dan bikin gelo, kecewa. ”Lha kok, tiba tiba disurvei Microsoft 2020, warganet yang banyak orang Jawanya itu dicap rangking 29 dari 32 negara paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Sebagai wong Jogja yang jadi dosen di Purwokerto, hasil survei ini mengejutkan dan memalukan saya. Kok bisa?” ungkap Anggityas, gemas.

Lebih-lebih, dalam data yang disurvei Microsoft, ada tiga poin penyebab warganet Indonesia menjadi kelompok yang tidak sopan di dunia maya. Penyebab pertama tentulah media sosial yang telah menjadi rumah tanpa batas, bebas yang menghilangkan budaya timurnya. Karena ada aplikasi yang bisa memposting dengan akun anonim, ini yang bikin warganet jadi hilang rasa ramahnya di dunia nyata. Menjadi tidak sopan.

”Bahkan, usai launching penilaian itu, akun Instagram Microsoft sampai dinonaktifkan karena kolom chat komennya diserbu warganet Indonesia yang malah marah dan komentar yang kelewat batas di akun itu,” cerita Anggityas.

Survei Microsoft itu sendiri dilakukan terukur. Ukuran Microsoft menilai kesopanan itu berdasar tiga poin penilaian, yakni: aspek hoaks dan penipuan yang diposting oleh warganetnya 47%, ujaran kebencian yang diposting 27%, dan diskriminasi sosial 13%. Dengan tiga tolok ukur itu, jujur, hal itu membuktikan warganet Indonesia yang mestinya punya tatakrama, ramah dan bisa jaga ewuh pakewuh saat bicara meski di dunia maya, telah kelepasan dan kehilangan jati diri. Itu kondisi yang memprihatinkan.

”Mari kembali ke etika Jawa dan Indonesia yang sopan dan ramah. Jaga  norma tradisi budaya ewuh pekewuh, tenggang rasa saat memposting di medsos, agar citra kesopanan bisa dipulihkan,” papar Anggityas lebih rinci.

Sementara itu, Ahmad Firmanamal menuturkan, dalam beragam website di berbagai lembaga, pemerintah sebenarnya telah hadir di media sosial dengan beragam tujuan yang memang semestinya dijalankan. Pertama, dalam partisipasi demokrasi, untuk mengumpulkan ide dan solusi lewat diskusi partisipasi publik dalam memperkaya ide program pembangunan nasional.

Kedua, medsos pemerintah ditujukan untuk mengumpulkan solusi dan inovasi pembangunan yang bisa dikolaborasi secara nasional. Dan ketiga, medsos pemerintah ditujukan untuk transparansi dan keterbukaan atas pelaksanaan program pembangunan nasional oleh pemerintah untuk diawasi masyarakat agar lebih akuntabel.

”Jadi, pemerintah juga hadir dalam media sosial lewat beragam websitenya agar mengundang partisipasi masyarakat warganet Indonesia,” ujar Ahmad Firmanamal, Deputi Humas dan Kelembagaan Kemensesneg yang juga tampil membahas tema tersebut.

Anggityas dan Firmanamal tampil seru dalam webinar yang dipandu moderator Danny Septiana, ditemani dua pembicara lain: Tony Desryanto (praktisi teknologi informasi) dan Yoshe Anggela dari Kaizen Room, serta Riny Wulandari, juara Indonesian Idol 2007 selaku key opinion leader.

Words Have Power, kata-kata itu punya kekuatan. Terkait itu, Tony Desryanto mengajak warganet Indonesia untuk menyadari betul bahwa kata-kata yang ditulis dan diposting dalam beragam medsos, baik sebagai komentar pribadi maupun bagian dari konten digital yang diposting, mesti direnung dan dicamkan betul sebelum diposting. Sebab, hal itu akan menjadi jejak digital sepanjang hayat.

”Jejak digital itu punya kekuatan mengangkat atau menjatuhkan masa depan Anda. Hati-hati betul saat men-share informasi, saring dan cheking. Jadikan itu budaya baru warganet Indonesia. Kalau dulu mulutmu harimaumu, kini pahami kalau jarimu serius bisa menentukan masa depanmu,” pesan Tony, mewanti-wanti peserta.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article