Dunia maya di era digital saat ini memang penuh godaan dan jebakan. Kadang kita, para netizen, kurang waspada. Gara-gara tergoda pengin main gim baru yang ditawarkan murah, atau pengin nonton film drama Korea atau India baru lewat aplikasi berbagi film, atau kadang tergoda pinjaman online yang mudah dan praktis, kita cepat tergelitik untuk mendownload suatu aplikasi.
Dan biasanya, 99 persen netizen main ’yes’ saja, tidak mau baca syarat yang ditulis saat hendak mendownload suatu aplikasi. Padahal kalau kita mengizinkan, kadang aplikasi hendak menggunakan data pribadi kita tanpa izin. Mending kalau dipakai untuk iklan poster suatu produk bank online atau produk lain yang tak berisiko. Kalau diselewengkan dan disalahgunakan oleh pihak lain yang tak bertanggung jawab untuk suatu kejahatan online, kita tak bisa menuntut karena pernah setujui.
”Jadi, hati-hati, jangan asal ’yes’ ketika mendownload aplikasi. Sempatkan baca dulu syarat yang mereka mau.” Itu pesan penting Anthovani Reza Pahlevi, CEO Shinta Virtual Reality(VR) dan founder Pantoera.id Batang saat berbicara dalam webinar literasi digital bertema ”Mengenal Pengaturan Proteksi Data Digital di Era Digital”, yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk warga Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, 2 Juli 2021.
Sebenarnya, kesadaran terkait pentingnya perlindungan data pribadi di dunia digital sudah makin baik secara global, seperti di Uni Eropa maupun di Indonesia sejak 2016. Uni Eropa sudah memiliki GDPR, General Data Protection Resolution, yang mengatur rinci perlindungan, pengumpulan dan pengolahan data pribadi.
”Di Uni Eropa, GDPR sudah ada sejak 27 April 2016, sedangkan di Indonesia lewat Peraturan Menteri Kominfo No. 20 tahun 2016, yang mengatur cara pengumpulan, olah dan pemanfaatan data, di mana manajemen perlindungan data pribadi mulai diatur yang memberikan keamanan dan kenyamanan baru buat para netizen agar tidak menjadi korban kejahatan siber karena tercurinya data pribadi kita secara digital,” ujar Anthovani lebih rinci.
Kejahatan akibat penipuan dan beragam kejahatan berbasis penyalahgunaan data pribadi digital sudah tidak main-main lagi. Data selama Juli s.d. September 2020 di Polisi Siber Bareskrim Polri saja, meski hanya 61 kasus dilaporkan tapi kerugiannya mencapai Rp 144 triliun. Bahkan, data di tingkat global dalam setahun ini, angka kerugian akibat kejahatan siber berbasis data pribadi digital mencapai Rp 5 triliun. ”Bukan angka kecil. Ini mesti jadi kewaspadaan kita bersama,” tegas Dede Fajar Kurniawan, seorang digital strategic specialist, yang juga tampil sebagai pembicara.
Anthovani dan Dede hadir dalam diskusi yang digelar secara daring dengan ratusan peserta dari seantero Jepara, dipandu moderator Dannys Septiana. Tampil juga dua pembicara lain: Rahmat Afian Pranowo, fasilitator digital safety dari Kaizen Room dan Isyroh Fuadi, dosen Institut Pesantren Mathaliul Falah, serta Putri Juniawan, presenter TV yang tampil sebagai key opinion leader.
Dalam melindungi diri dari ancaman kejahatan siber, Dede menyarankan, jangan hanya membuat password yang unik, dan jangan pakai tanggal lahir kita. Banyak aplikasi di dalam jagat maya yang disusupi hacker. Kalau kita memakai nama akun bukan dengan nama palsu, tapi nama asli sesuai KTP, bukan barang sulit bagi hacker untuk menemukan data tanggal lahir kita. Ada aplikasinya, dan itu mudah banget buat hacker.
”Nah, kalau tanggal lahir dibuat password dan banyak yang dipakai sama di Facebook atau Instagram, ya habis kita. Saran saya, kita ganti tanggal lahir dengan dua angka diubah, misal dari 23/6 jadi 25/6 dan hanya kita yang tahu. Jangan sampai bocor. Tambah atau kurangi data dari aslinya tanggal lahir, itu cukup aman dan merepotkan hacker. Selain itu, biasakan sering ganti setting security di akun pribadi kita. Dengan begitu kita bisa tangkis ancaman itu,” kata Dede.
Hal lain menyangkut data digital yang perlu dijaga adalah jejak digital kita. Karena kalau sampai sembarang kita menebar postingan atau konten bersifat hoaks atau penebar kebencian tanpa kita cek dulu kebenaran informasinya, dampaknya malah merusak citra atau nama baik kita, bahkan bisa memunculkan problem hukum dan mengantar kita ke penjara.
”Data dari Mastel 2019 menyebut kalau postingan hoaks dan ujaran kebencian yang sering diunggah netizen sepanjang 2019, justru berasal dari Facebook (92,4%), dari web (34.9%), dan dari WA atau Tweeter (62,8%).
”Semua adalah media sosial yang paling banyak diakses oleh netizen Indonesia. Di sanalah rumah yang menjadi ranah hoaks dan hate speech dibuat. Makanya, budayakan stop keduanya dalam tradisi kita bermedsos. Kalau tidak yakin sumber dan kebenaran hoaks atau ujaran kebencian yang kita dapat, stop di kita. Jangan di-sharing,” pesan Rahmat Alfian Pranowo dari Kaizen Room.