Ruang diskusi publik di era digital sangat beragam sarananya, termasuk media sosial yang dapat mempertemukan orang dari berbagai belahan dunia untuk saling mengutarakan pendapat. Tema “Ruang Diskusi Publik Melalui Platform Digital” ini dibahas dalam webinar literasi digital yang diselenggarakan oleh Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kota Semarang, Selasa (3/8/2021).
Sebagaimana ditekankan dalam berbagai rangkaian webinar-webinar sebelumnya, literasi digital tengah menjadi fokus pemerintah untuk meningkatkan kecakapan masyarakat dalam menggunakan dan memanfaatkan teknologi. Literasi digital itu terangkum dalam empat pilar yaitu digital culture, digital skill, digital ethics, dan digital safety.
Dosen administrasi publik Universitas Diponegoro Tri Yuningsih menjelaskan dari kacamata budaya digital mengatakan media sosial adalah ruang digital yang paling banyak digemari sebagai ruang diskusi dan berekspresi. Namun dari keragaman latar belakang pengguna media sosial, yang menjadi persoalan adalah bagaimana warganet Indonesia mampu mempertahankan keragaman tersebut dengan saling menghormati dan menciptakan ruang diskusi yang sehat.
Menjaga ruang publik yang sehat diperlukan peran kesadaran semua pihak. Salah satunya dengan memperkuat karakter individu dengan karakter kebangsaan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
“Setiap individu harus menyadari bahwa ketika memasuki era digital, maka secara otomatis ia telah menjadi warga negara digital. Dalam konteks keindonesiaan, ia memiliki tanggung jawab untuk melakukan seluruh aktivitas media digitalnya berlandaskan pada nilai-nilai kebangsaan,” jelas Tri Yuningsih.
Menjadi warga digital yang pancasilais dapat diwujudkan dengan meminimalisir penggunaan fitur unfollow, unfriend, dan block untuk menghindari efek echo chamber dan filter bubble. Ruang dengung atau echo chamber adalah ruang yang menggaungkan opini seragam, sedangkan filter bubble adalah ruang yang tersaring berdasarkan personalisasi pengguna media digital. Efeknya pengguna media sosial cenderung hanya akan melihat konten-konten serupa, pendapat dari satu sudut pandang saja.
“Kondisi tersebut membuat pengguna tidak bisa berpikir secara terbuka dan tidak bisa menyikapi perbedaan dengan baik karena menganggap dirinya sudah benar. Oleh sebab itu sebagai warga digital yang pancasilais perlu berpartisipasi dan berkolaborasi untuk mewujudkan ruang publik yang sehat, yang menghormati dan menghargai orang lain, serta memberikan kesempatan yang sama bagi semua warga digital untuk berekspresi,” terangnya.
Dwi Eko Waluyo menambahkan efek echo chamber dan filter bubble tersebut terbentuk dari rekam jejak digital setiap pengguna media digital. Yaitu dari riwayat pencarian, like dan share, komentar dan aktivitas digital lainnya. Oleh sebab itu setiap warga digital mesti bijak dalam menggunakan media sosial dengan menerapkan literasi digital.
Ia menyimpulkan bahwa bijak bermedia sosial adalah mampu mencari dan menelusuri informasi yang diakses berasal dari sumber yang kredibel dan penulis yang atau narasumber yang kompeten. Pastikan kredibilitas sarana media informasi tersebut resmi dan legal yang dapat dilihat dari afiliasi kontennya apakah dari pemerintah, organisasi masyarakat, atau hanya web yang berisi opini seperti blog.
“Setelah mampu menelusuri kredibilitas sumbernya kategorikan informasi apakah termasuk hoaks, memiliki manfaat dan memberikan pengetahuan, atau justru modus penipuan. Pertimbangkan penting tidaknya informasi tersebut dan apakah dapat menimbulkan kegaduhan atau kedamaian,” terang Eko.
Bijak bermedia sosial harus memastikan informasi yang dibagikan itu aman, tidak berisi kebohongan melainkan dapat memberikan manfaat dan kebaikan. Setelah pasti dengan penyaringan tersebut, barulah informasi dapat dibagikan dengan aman di ruang publik.
Dipandu moderator entertainer Zacky Ahmad, webinar kali ini juga menghadirkan Puji F. Susanti (entrepreneur dan co-founder Rempah Karsa), Fajar Nursahid (direktur eksekutif LP3ES dan dosen politik Universitas Bakrie, Jakarta), dan aktor Qusar Harta Yudana selaku key opinion leader.