Keterampilan digital di era digital merupakan kebutuhan bagi masyarakat untuk beradaptasi di era disrupsi digital. Di bidang pendidikan, keterampilan digital tidak hanya penting bagi pendidik tetapi juga bagi peserta didik. Hal ini dibahas dalam webinar literasi digital yang diselenggarakan oleh Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (2/8/2021).
Melalui gerakan Literasi Digital: Indonesia Makin Cakap Digital, masyarakat diharapkan dapat memaksimalkan kecakapan dalam menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Keterampilan digital yang disosialisasikan pemerintah itu dirangkum dalam empat pilar yang terdiri dari digital ethics, digital culture, digital skill, dan digital safety.
Narasumber Saeroni dari Universitas NU Yogyakarta membahas tentang penggunaan media sosial secara bijak. Hal itu ia sampaikan mengingat pengguna aktif media sosial di Indonesia tercatat cukup tinggi yaitu mencapai 61,8 persen dari jumlah populasi dengan pemakaian rata-rata selama tiga jam.
Dalam hal ini Saeroni lebih menyoroti etika dan etiket digital warganet Indonesia. Pada survei yang dilakukan oleh Microsoft pada tahun 2020 menunjukkan hasil bahwa media sosial di Indonesia banyak ditemukan ujaran kebencian, perundungan, dan penyebaran hoaks. Isu-isu tersebut jika ditelisik merupakan pelanggaran etika bermedia digital.
”Sebelum mengunggah konten, berkomentar, dan membagikan informasi di media sosial mesti ditinjau ulang. Mempertimbangkan terlebih dulu kebenarannya, kebermanfaatannya, tujuan dan kepentingannya. Pastikan konten tersebut tidak melanggar hukum dan mengandung kebajikan. Selalu berpikir ulang sebelum memutuskan untuk klik,” ujar Saeroni.
Bijak bermedia sosial harus bisa menjaga privasi orang lain dan menjaga keamanan akun. Tidak mudah percaya pada berita yang diterima sebelum melakukan klarifikasi. Hanya membagikan hal-hal positif serta menggunakan media sosial sesuai keperluan.
”Hindari memulai konflik, membagikan masalah pribadi di media sosial, mengejek orang lain, berbagi foto secara berlebihan, serta bersikap terlalu ekstrem dalam menanggapi pendapat,” terang Saeroni.
Dari perspektif budaya digital, Ketua LPPM UNU Yogyakarta Muhammad Mustafid menambahkan bahwa revolusi industri 4.0 membuka berbagai tantangan. Salah satunya dalam bidang pendidikan, guru dan murid dipaksa beradaptasi menggunakan teknologi untuk melaksanakan pembelajaran daring.
Selain keterampilan dalam memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran, penguatan budaya juga harus ditanamkan kepada murid. Yaitu dengan mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam setiap pelajaran.
”Menanamkan nilai cinta kasih dan saling menghormati dalam mengekspresikan nilai-nilai kemanusiaan. Mengajarkan kesetaraan dan keadilan dalam memperlakukan orang lain, mengutamakan kepentingan bersama. Memberikan hak demokratis orang lain untuk berekspresi dan berpendapat. Serta mengajak murid untuk berkolaborasi dalam hal kebajikan,” sebut Mustafid.
Selain itu literasi budaya juga perlu diterapkan dalam bermedia sosial. Memperhatikan nilai-nilai kebangsaan dalam melakukan interaksi di ruang digital, menguatkan karakter budaya dengan membuat konten-konten budaya, serta menerapkan budaya-budaya Indonesia yang telah menjadi identitas bangsa seperti bersikap sopan dan santun ketika berinteraksi di ruang digital.
”Perkembangan teknologi pendidikan semestinya tidak mendisrupsi nilai-nilai fundamental pendidikan, peran guru dan tenaga didik. Melainkan menjadi strategi menguatkan kompetensi SDM yang ada menjadi lebih relevan, terampil, adaptif sesuai perkembangan zaman,” tutupnya.
Dipandu moderator entertainer Harry Perdana, webinar kali ini juga menghadirkan narasumber Mujiantok (founder Atsoft Technology), Sunaji Zamroni (peneliti Alterasi Indonesia dan Dewan Nasional Fitra), dan presenter TV Venabela Arin selaku key opinion leader.