Pengguna media digital semakin bertambah jumlahnya setiap hari. Peningkatan tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara lain di dunia. Bertambahnya pengguna media sosial, akan berdampak pada makin maraknya konten-konten hoaks di ruang digital.
”Hoaks adalah berita bohong yang bertujuan mendiskreditkan individu atau kelompok,” kata pengajar UHN IGB Sugriwa Denpasar, Desyanti Suka Asih saat menjadi pembicara pada webinar literasi digital bertajuk ”Kiat-kiat Melawan Hoaks” yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk masyarakat Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Jumat (24/9/2021).
Berita bohong, lanjut Desy, adalah berita yang memang dibuat untuk tujuan merusak. Artinya berita ini tidak dibuat berdasarkan dari fakta yang ada, tetapi menciptakan fakta negatif pada diri seseorang. Konten hoaks biasanya sengaja dibuat untuk tujuan provokatif di tengah kehidupan masyarakat.
Desy mengungkapkan, siaran pers Kominfo bulan Desamber 2019 menyebutkan selama bulan November (2019) Kementerian Kominfo mengidentifikasi 260 hoaks, dan total hoaks sejak Agustus 2018 hingga November 2019 jumlahnya 3.901 berita (konten). Tingginya populasi berita hoaks, secara tidak langsung ditengarai sebagai akibat dari semakin bertambahnya pengguna media sosial.
”Kategori temuan hoaks mulai dari isu politik (973), pemerintahan (743), kesehatan (401), lain-lain (307), kejahatan (271), fitnah (242), internasional (216), bencana alam (190), agama (173), penipuan (172), mitos (160), perdagangan (29), pendidikan (24),” beber Desy kepada 220 partisipan webinar.
Desy berharap, semua warganet selalu berhati-hati ketika menerima informasi di ruang digital. Apalagi, berdasarkan survei Masyarakat Telematika (Mastel) Indonesia, penyebaran hoaks paling sering diterima masyarakat adalah hoaks melalui media sosial, yakni sebesar 92,40 persen. Sedangkan persentase masyarakat yang menerima hoaks di tahun 2019 melalui aplikasi chatting sebesar 67 persen, meningkat dibandingkan dengan tahun 2017 yang sebesar 62,80 persen.
Mastel Indonesia mengidentifikasi, hoaks yang menyebar, dari bentuknya yang sederhana sampai menjadi lebih beragam. Namun persentase hoaks tertinggi yang diterima masyarakat adalah hoaks dalam bentuk tulisan, yakni sebesar 70 persen.
”Berikutnya berita, foto, atau video lama yang dibumbuhi hoaks menempati urutan kedua dengan persentase sebesar 69,20 persen. Kemudian foto dengan caption palsu 66,3 persen, foto editan 57,8 persen dan video editan dengan dubbing palsu sebesar 33,2 persen,” ungkap Desy
Cerdas menangkal berita hoaks di media sosial berarti, jangan menyebarkan berita sebelum mengecek kebenarannya, hati-hati dengan judul berita provokatif, teliti dan cermati alamat situs, periksa fakta (asal dan sumber berita), teliti keaslian foto, ikuti grup diskusi anti hoaks di media sosial.
Berikutnya, brandpreneur Edy SR menyambung diskusi dengan memaparkan perkiraan jumlah data yang dimuat di internet dalam 60 detik. Dalam satu menit ada 500 jam konten video Youtube terunggah, 197,6 juta email terkirim, 5.000 video TikTok terunduh, 69 juta pesan terkirim di WA dan messenger Facebook, 9.132 terkoneksi di Linkedin, 695.000 pengguna Instagram membagikan story.
”Inilah gambaran keterbukaan ruang digital. Ada ratusan juta informasi beredar setiap menit. Berupa konten baik maupun konten buruk, termasuk hoaks,” tegas Edy SR.
Menurut Edy, potensi media sosial yang begitu besar mestinya perlu dibarengi perilaku bermedia sosial dan literasi digital yang baik. Karena sadar atau tidak, kita berperan sebagai konsumen, distributor, dan produsen konten. Untuk itu, butuh pemahaman terhadap karakter setiap media sosial, kontennya, dan perilaku penggunanya, agar aktivitas media sosial kita terjaga untuk hal-hal yang positif.
”Saat menerima informasi, cerna kontennya, bandingkan konten yang kita baca, lihat, dan dengar, sebelum merespon berupa like, comment, dan share. Agar setiap yang kita luaskan memberi dampak baik,” pungkas Edy.
Dipandu moderator presenter Fikri Hadil, webinar kali ini juga menghadirkan narasumber Widiasmorojati (Entrepreneur), Muhammad Arwani (dosen Universitas Cokroaminoto Yogyakarta), dan presenter TV Putri Juniawan selaku key opinion leader.