Masyarakat yang inklusif merupakan satu komunitas masyarakat yang mampu menerima berbagai bentuk keberagaman dan keberbedaan, serta mengakomodasinya ke dalam berbagai tatanan maupun infrastruktur yang ada di masyarakat.
Itulah paparan awal yang disampaikan Pegiat Kewirausahaan Sosial, Yuni Mustani, dalam webinar literasi digital bertema ”Masyarakat Inklusi dan Perundungan Anak” yang digelar oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama Debindo untuk warga Kota Yogyakarta, Senin (27/9/2021).
Sedangkan, yang dimaksud perundungan, lanjut Yuni, memiliki akar kata ’rundung’ yakni mengganggu, mengusik terus-menerus, dan menyusahkan. ”Perundungan bisa berarti tindakan yang dilakukan secara sengaja untuk menyakiti secara fisik, verbal dan psikologis oleh seseorang terhadap seseorang yang merasa tidak berdaya secara terus-menerus,” tuturnya.
Yuni mengatakan, yang dimaksud perundungan di dunia digital atau melalui jaringan dan perangkat elektronik, yakni bersifat ancaman, hinaan, ejekan, pengucilan, mempermalukan, pelecehan, intimidasi, dan fitnah. ”Bentuknya seperti pesan, email, gambar, dan video yang bisa membuat depresi korbannya,” sebutnya.
Menurut Yuni, perundungan memiliki berbagai bentuk seperti pertengkaran di dalam jaringan (daring), fitnah, pelecehan, akun palsu, tipu daya, pengucilan, dan penguntitan. Untuk itu, perlu ditanamkan sikap respek terhadap pengguna digital. Baik itu respek terhadap diri sendiri, yakni segala ucapan dan tindakan adalah refleksi kepribadian; maupun kepada orang lain, yakni menghargai perbedaan serta menanamkan kebaikan.
Sedangkan terhadap korban perundungan, Yuni menyebut, ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Yakni, edukasi berkala, melapor orangtua atau guru, dan mengumpulkan bukti screenshot, video, atau voice mail. Berikutnya adalah be a good buddy, menjadi teman yang baik dengan tanggap dan mendampingi, serta jangan ikutan menjadi pelaku.
Sementara terkait sikap inklusi, Yuni Mustani menambahkan, diperlukan kompetensi kecakapan digital. Yang dimaksud adalah memahami keberagaman, multikulturalisme, kemudian cakap produksi dalam arti memproduksi konten positif.
”Berikutnya, tidak terlibat menyebarkan konten buruk perundungan, berperan aktif berbagi informasi yang baik dan etis untuk manfaat kebaikan, mampu menginisiasi, mengelola kegiatan bermedia digital yang positif, serta bekerja sama dengan pemangku kepentingan lainnya,” tutup Yuni.
Narasumber lainnya, pengajar dan pegiat literasi digital Riant Nugroho mengatakan, ada beberapa cara untuk mencegah bullying pada anak. Salah satunya, yakni orangtua juga bisa memberikan pemahaman kepada anak mengenai bullying.
Caranya, dengan mengajak bicara secara terbuka dengan intensitas yang sering kepada anak. Namun, perlu diingat, orangtua juga bisa menjadi panutan yang positif bagi anaknya. ”Orangtua bisa membantu kepercayaan diri anak, dan jadilah teladannya. Jadilah bagian dari pengalaman online mereka,” kata Riant, mantan jurnalis yang kini juga dikenal sebagai ahli kebijakan publik.
Sementara, jika menjadi korban bullying, Riant menyarankan untuk melakukan berbagai tindakan. Pertama-tama, usahakan tetap bersikap tenang. Misalnya dengan ambil napas dalam-dalam selama satu menit, kemudian embuskan keluar.
Lalu, sembunyikan kemarahan atau kesedihan di depan pelaku perundung. Kemudian berdiri tegak, angkat kepala, pandang pelaku dengan tegas. Hadapi pelaku dengan tenang atau tinggalkan perundung.
”Tanyakan permasalahannya atau tolak permintaan pelaku dengan sopan dan segera menyingkir bila kamu dalam bahaya, lalu cari bantuan untuk menghentikan perilaku perundungan yang kamu alami,” kata Riant.
Dipandu moderator Ayu Lestari, webinar kali ini juga menghadirkan narasumber Nur Abadi (Kepala Kantor Kemenag Kota Yogyakarta), Nurkholis (Konsultan Bisnis dan HAM), serta seniman Dibyo Primus selaku key opinion leader.