Pandemi akibat Covid-19 yang sudah berlangsung lebih dari 1,5 tahun, ternyata berdampak terhadap masalah keintiman pasangan suami istri (pasutri). Biasanya masalah intimacy (keintiman) banyak dialami oleh pasutri dengan usia pernikahan di atas periode lima, sepuluh, bahkan lebih dari 20 tahun.
“Dengan terjadinya pandemi saat ini, masalah intimacy hubungan suami istri yang lazimnya dialami oleh pasangan suami istri dengan usia perkawinan yang relatif sudah lama, kini bisa saja terjadi pada pasangan usia pernikahan yang baru berjalan antara dua sampai tiga tahun. Bahkan ada juga pasangan yang baru saja menikah, lantas mengalami masalah kerenggangan hubungan suami istri,” papar Zoya Amirin, seorang psikolog yang mendalami ilmu seksologi.
Zoya yang turut berpraktek klinik seksologi dengan perjanjian di Klinik Estetika dan Perawatan Kulit Dermalounge, Jakarta Selatan, mengemukakan pandemi dapat saja dituding menjadi penyebab kerenggangan hubungan suami istri. Mengapa?
“Sebab, masalah kerenggangan dalam keharmonisan hubungan suami istri, biasanya sudah terjadi selama beberapa waktu sebelum terjadinya pandemi. Misalnya dalam rumah tangga terjadi masalah yang sebenarnya bukan merupakan masalah besar. Tetapi karena stres akibat pandemi, masalah dalam rumah tangga yang tidak besar tadi, ternyata berpotensi terus-menerus menjadi pemicu pertengkaran (pertikaian) antara hubungan suami istri. Akhirnya banyak pasutri yang masalahnya berakhir pada perceraian,” jelas Zoya yang kerap menjadi sex positive advocate bagi para klien.
Terbanyak Kasus Disfungsi Seksual
Lebih jauh lagi, papar Zoya yang di bulan ini baru merayakan hari jadinya, kendati tidak pernah menghitungnya sebagai data lewat survei, masalah yang kerap dikeluhkan oleh para kliennya, terutama berkisar pada disfungsi seksual, baik yang dialami oleh pria yang mempengaruhi hubungan kepada istri, ataupun juga perempuan atau istri yang akhirnya mempengaruhi hubungan seksual terhadap suaminya.
“Contoh apabila seorang perempuan atau istri yang mengalami vaginismus atau kekakuan otot dinding-dinding vagina yang tidak bisa dikendalikan oleh perempuan, sehingga penetrasi vagina tidak mampu dilakukan. Atau jika laki-lakinya mengalami disfungsi ereksi, sehingga alat vitalnya tidak mampu berereksi atau mempertahankan waktu ereksinya, maka hal tersebut menjadi masalah dalam menjaga keharmonisan hubungan suami istri.
Apalagi jika ditambah dengan masalah-masalah lain di luar hubungan seksual, seperti akibat tekanan ekonomi yang diihadapi selama masa pandemi, akan turut memicu terjadinya stres dalam persoalan keintiman hubungan pasutri.
Itu sebabnya perlu dilakukan konseling atau konsultasi yang memerlukan kerjasama timbal balik antara suami dan istri. Sebab hal-hal seperti ini, menjadi kunci tuntasnya persoalan disharmoni hubungan pasutri dalam berkegiatan seksual.
Sebab selain konseling, kata Zoya, ada juga terapi dan sejumlah homework, yang harus digarap pihak pasutri, yang juga ditentukan oleh kekompakan mereka dalam menyelesaikan homework-nya. Biasanya apabila mereka rajin menggarap homework, baik dari pihak suami maupun dari pihak istri, maka konseling dapat berlanjut sebagai rangkaian proses penyelesaian masalah, bahkan tidak jarang berlanjut pada tahapan konseling masalah yang lainnya. Itu sebabnya, tidak dapat ditentukan berapa lama proses pengobatan (theraphy dan counseling), karena berbeda kasus dan penanganan, termasuk tahapan yang perlu dilakukan secara kontinu.”
Zoya menambahkan dalam tahapannya, tidak jarang ia harus bekerjasama dengan tim dokter dalam menyelesaikan kasus yang dialami para klien. “Seperti pada kasus perempuan dengan vaginismus yang vaginanya tidak dapat berpenetrasi karena saat proses penetrasi, vaginanya mengeras seperti tembok.
Untuk itu saya bekerjasama dengan dokter spesialis obstetri (dokter kandungan) dan ginekolog (dokter urusan reproduksi perempuan). Sedang pada kasus lelaki yang mengalami disfungsi ereksi, maka lelaki atau si suami harus terlebih dulu berkonsultasi dengan dokter andrologi, spesialis medis yang mengurus kesehatan pria secara khusus termasuk urusan reproduksi dan sistem urin pria.
Jika ditanya bentuk terapi apa yang diberikan kepada pasien, tidak ada solusi general, mengingat setiap orang adalah unik, karena itu setiap orang juga harus berproses. Intinya, solusi bagi mereka adalah menggunakan terapi dan konseling yang disesuaikan dengan kasus dan jenis masalah yang dihadapi,” jelasnya.
Ia mencontohkan sejumlah terapi yang digunakan antara lain adalah Survey Focus Therapy atau Emotional Focused Couple Theraphy (EFCT), dan Cognitive Behaviour Theraphy (CBT), yang berbeda klien dan berbeda kasus yang mereka hadapi. Adapun bentuk homework yang perlu digarap bersama pasangan pasutri misalnya ritual romantic, dan ini berbeda kepada setiap klien, karena setiap orang berbeda treatment-nya.