Semarang – Semakin pesatnya perkembangan teknologi digital juga membuat ruang digital seperti media sosial semakin berkembang dan bertambah pengguna. Para pengguna yang berasal dari beragam latar belakang budaya, tentunya membuat interaksi semakin menarik dan pada sisi lainnya, mendatangkan hal-hal buruk seperti ujaran kebencian yang saat ini marak terjadi.
Pada sesi webinar literasi digital yang memiliki tajuk ‘Melawan Ujaran Kebencian Di Dunia Maya’, yang diadakan oleh Kementerian Kominfo untuk masyarakat kota Semarang pada Jum’at (13/08), narasumber Khafizh Hastuti memaparkan mengenai pentingnya berbudaya dalam mencegah ujaran kebencian yang berpotensi dapat merusak interaksi di media sosial. Khafizh Hastuti mengatakan bahwa di dalam dunia digital ada budaya digital yang harus diperhatikan.
“Budaya digital merupakan sebuah konsep yang menggambarkan bagaimana teknologi dan internet membentuk cara kita berinteraksi sebagai manusia,” jelasnya.
Khafizh Hastuti, yang merupakan dosen Universitas Dian Nuswantoro, menjelaskan ada indikator kompetensi yang harus dipenuhi masyarakat Indonesia yang berinteraksi di dalam dunia digital. “Ada digitalisasi kebudayaan, cinta produk dan kegiatan dalam negeri, sadar hak digital, dan tentunya menerapkan nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika,” jelasnya.
Lebih lanjut, Khafizh Hastuti memaparkan contoh kebudayaan yang telah terdigitalisasi. Seperti gamelan, dan pengembangan permainan yang bernafaskan kearifan lokal. Meski begitu, Khafizh Astuti menyayangkan tingkat kesopanan digital masyarakat Indonesia. “Masyarakat kita menempati peringkat terendah dalam hal kesopanan digital di Asia Tenggara. Ini sesuatu yang ironis,” ungkapnya.
Khafizh Hastuti menerangkan bahwa sangat perlu menerapkan nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dalam berinteraksi di dunia digital. “Kampanya literasi digital adalah salah satu jalannya,” jelasnya.
Supranoto, narasumber lain dalam webinar, menjelaskan lebih lanjut mengenai sirkulasi konten negatif yang ada di media sosial. Menurut data yang dihimpun Supranoto, Twitter menjadi media sosial yang paling banyak memiliki sirkulasi konten negatif, disusul Facebook dan Instagram.
Lebih lanjut, Supranoto menjelaskan mengapa orang membuat konten-konten negatif seperti ujaran kebencian. “Ada alasan ekonomi, dan politik yang menjadi motivasi yang cukup kuat untuk seseorang berbuat demikian,” ungkapnya.
Selain itu, mudahnya sirkulasi konten-konten negatif itu didukung oleh mudahnya masyarakat dalam mempercayai suatu informasi. Sehingga konten hoaks dan ujaran kebencian banyak berseliweran di media sosial. “Kita cenderung malas melakukan verifikai, hanya asal klik like dan share saja tanpa menimbang informasi itu,” jelasnya.
Supranoto memberikan cara bersikap untuk masyarakat dalam menghadapi ujaran kebencian dan konten negatif lainnya. Supranoto menghimbau untuk masyarakat agar memahami dan menerapkan etika digital kompetensi digital.
“Kita harus selalu sadar bahwa tulisan kita adalah diri kita, dan menyadari bahwa kita berkomunikasi dengan manusia lain,” jelasnya.
Dipandu oleh moderator Dannys Citra (Entertainer), webinar ini juga menghadirkan Syafii Syaf (Duta GenRe Favorit Semarang 2020) sebagai key opinion leader, narasumber Guruh Taufan (Dosen Universitas Dian Nuswantoro), dan Aulia Putri Juniarto (Fasilitator Nasional). (*)