Kecanggihan teknologi digital, dan semakin populernya media sosial telah menghadirkan bentuk-bentuk baru kekerasan berbasis gender online (KBGO). Kekerasan berbasis gender diartikan sebagai kekerasan langsung pada seseorang yang didasarkan atas jenis kelamin atau gender. Ini termasuk tindakan yang mengakibatkan bahaya atau penderitaan fisik, mental atau seksual, ancaman, paksaan, dan penghapusan kemerdekaan.
KBGO yang difasilitasi teknologi, sama seperti kekerasan berbasis gender di dunia nyata, tindak kekerasan tersebut harus memiliki niatan atau maksud melecehkan korban berdasarkan gender atau seksual. Jika tidak, kekerasan tersebut masuk dalam kategori kekerasan umum di dunia maya.
Pemerhati kejahatan siber, Muhammad Solichin mengatakan, ada berbagai bentuk kekerasan berbasis gender online ini. Beberapa di antaranya seperti pernyataan atau tingkah laku yang bersifat merendahkan seseorang berdasarkan jenis kelamin.
Kemudian rayuan atau permintaan yang tidak senonoh bersifat seksual atau bersifat merendahkan tanpa adanya suatu ancaman. Lalu ajakan melakukan hal-hal yang berkenaan dengan perhatian !”!! disertai dengan janji untuk mendapatkan imbalan-imbalan tertentu.
Selanjutnya, adanya tekanan untuk melakukan hal-hal bersifat seksual dengan disertai ancaman baik secara tidak langsung maupun langsung.
”Termasuk pula serangan atau paksaan yang bersifat seksual dan dilakukan secara kasar atau terang-terangan,” katanya dalam webinar literasi digital dengan tema ”Lawan Pelecehan Seksual pada Media Online” yang digelar Kementerian Kominfo dan Debindo bagi warga Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, pada Jumat (13/8/2021).
Menurut Solichin, hal yang perlu menjadi perhatian bagi pengguna digital mengenai kekerasan berbasis gender online ini, pelaku biasanya sebelum mewujudkan perbuatan melanggar kesusilaan, di dalam batinnya telah terbentuk suatu kehendak untuk mewujudkan perbuatan melanggar kesusilaan itu. ”Artinya perbuatan itu memang dikehendakinya,” ujarnya.
Selain itu, pelaku juga menyadari dan mengetahui tentang nilai perbuatannya itu menyerang rasa kesusilaan umum, serta disadarinya pula bahwa dia mewujudkan perbuatan itu dengan secara terbuka atau di muka umum.
Solichin mengungkapkan, masing-masing korban atau penyintas KBGO mengalami dampak yang berbeda-beda. Beberapa hal yang mungkin terjadi dan dialami para korban dan penyintas antara lain berupa kerugian psikologis atau trauma.
Kemudian korban atau penyintas juga bisa mengalami konflik diri atau keterasingan sosial, dengan menarik diri dari kehidupan publik termasuk keluarga dan teman-teman. Hal ini terutama berlaku untuk perempuan yang foto atau videonya didistribusikan tanpa persetujuan dan membuat mereka merasa dipermalukan dan diejek di tempat umum.
Solichin menambahkan, untuk mengantisipasi menjadi korban dari perilaku kekerasan berbasis gender online ini, pengguna digital juga harus bisa mengenal lingkungan digitalnya. Kemudian memanfaatkan fitur kemanan perangkat dan tidak ceroboh dalam melakukan proteksi device.
”Ketika sudah menjadi korban, berpikirlah jernih. Kemudian menceritakan kepada orang yang dipercayai dan tidak ragu untuk melaporkan tindakan yang dialaminya kepada pihak berwajib,” ucap dia.
Narasumber lainnya, Entrepreneur & Founder Kampung Adiratu, Tatty Apriliyana mengatakan, pengguna digital sudah seharusnya cakap dalam menggunakan keamanan digitalnya yang meliputi memproteksi identitas digital, memproteksi data pribadi, dan berhati-hati rekam jejak digital.
Jika mengalami kekerasan berbasis gender online, lakukan pemetaan risiko, kemudian menyusun kronologi dan mengamankan bukti yang ada untuk melaporkan ke pihak atau platform terkait.
Hal ini bisa dilakukan dengan membuat tangkapan layar atas semua kejadian yang dialami, misalnya chat, postingan di media sosial, dan lainnya. Simpan alamat tautan terhadap konten tersebut atau nama akun yang melakukan KBGO, sertakan waktu kejadian untuk dicatat dalam kronologis.
Di ranah online, korban melalui fitur opsi bisa melaporkan dan memblokir pelaku atau akun-akun yang dianggap atau telah mencurigakan, membuat tidak nyaman, atau mengintimidasi melalui fitur ‘laporkan akun’ di masing-masing media sosial atau digital platform lainnya.
“Jangan takut lapor ke kepolisian atau unit pelaksana teknis daerah perlindungan anak dan perempuan,” ujarnya.
Tatty menambahkan, pelaporan juga bisa melalui call centre Sahabat Perempuan dan Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI di SAPA129 atau hotline di Whatsapp 08211-129-129.
Dalam diskusi virtual yang dimoderatori Bella Rahmawati itu hadir pula narasumber Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sukoharjo Ihsan Muhadi, dan Konsultan SDM Arfian, serta Ayonk sebagai key opinion leader. (*)