Rabu, Desember 25, 2024

Literasi digital cegah pelecehan seksual di media online

Must read

Pelecehan seksual (sexual harassment) adalah segala bentuk perilaku yang berkonotasi seks yang dilakukan sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya. Bentuknya dapat berupa ucapan, tulisan, simbol, isyarat, dan tindakan.

Aktivitas yang berkonotasi seks bisa dianggap pelecehan seks jika mengandung adanya pemaksaan, kehendak sepihak oleh pelaku, kejadian ditentukan oleh motivasi pelaku, kejadian tidak diinginkan korban, dan mengakibatkan penderitaan pada korban.

Demikian penyampaian paparan narasumber Kepala MTsN 5 Sragen Muawanatul Badriyah pada webinar literasi digital dengan tema ”Lawan Pelecehan Seksual di Media Online” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Jumat (13/8/2021).

Webinar yang dipandu oleh moderator Niken Pertiwi itu, juga menampilkan narasumber Septa Dinata (peneliti Paramadina Public Policy), Alfarisi Arifin (Marketing Director Yummy Dairy Indonesia), Andrey Ferrian (Direktur IT ATSOFT Teknologi), dan content creator Masayu Dewi selaku key opinion leader.

Muawanatul Badriyah mengungkapkan, berdasarkan laporan penelitian dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik Jakarta yang dirilis pada 7 Januari 2021, menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2020 terdapat 1.178 pengaduan yang dilaporkan dalam hal kasus kekerasan berbasis gender. 

”Angka tersebut justru meningkat drastis dibandingkan dengan catatan tahunan 2019 yang hanya sebanyak 794 laporan pengaduan,” ujar perempuan yang akrab disapa Ana itu.

Ada beberapa penyebab terjadinya pelecehan seksual, menurut Ana. Di antaranya: korban mudah ditaklukkan, kemudian hasrat seks yang tidak bisa disalurkan dengan pasangannya, mempunyai riwayat kekerasan seksual saat masih kecil, pernah menyaksikan kekerasan seksual terhadap anggota keluarga lain saat masih kecil, pelaku memiliki otoritas atas korban, pelaku berada dalam keluarga atau lingkungan dengan ideologi patriarki yang kuat.

Ketergantungan obat-obatan terlarang dan minuman keras, juga dapat menjadi pemicu terjadinya pelecehan seksual. Selain itu, pelaku juga biasanya memiliki fantasi seksual yang mendukung adanya kekerasan seksual, sering membaca atau menonton konten-konten porno, tidak dekat secara emosional dengan keluarga, dan adanya faktor kemiskinan.

Terkait pelecehan seksual yang ada di dunia maya, Ana mengelompokkannya menjadi empat jenis pelecehan, masing-masing yakni sexting (sex-testing), non-consensual dissemination of intimate images, body-shaming, dan scammer.

”Sex testing biasanya dilakukan dengan cara mengirim gambar disertai pesan teks yang berbau pornografi. Non-consensual adalah penyebaran gambar (foto), audio, video berbau porno. Biasanya pelaku mempunyai kedekatan dengan korban dan tak jarang disertai ancaman,” jelas Ana.

Ana menambahkan, untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual di dunia maya, para pengguna media digital harus pandai dan bijak menggunakan media sosial. Kemudian juga menghindari hal pribadi dilakukan di media sosial, tidak menyimpan foto atau video pribadi di gadget, tidak terbujuk pasangan untuk membuat konten pornografi.

”Penting juga adanya sosialisasi pengetahuan tentang kurikulum literasi digital dari pemerintah,” tegas Ana.

Narasumber berikutnya, direktur marketing Yummy Dairy Indonesia Alfarisi Arifin menyatakan, Instagram merupakan platform media sosial yang paling popular memicu terjadinya pelecehan seksual. Hal itu terjadi terutama karena Instagram dikenal sebagai platform yang identik dengan unggahan foto atau image wanita. 

”Banyak akun yang sengaja mengumpulkan banyak koleksi foto-foto ’sexy’ dengan target follower growth dan engagement tinggi. Metode pelecehan seksual terjadi di kolom komen yang menanggapi foto. Pelecehan ini berupa ajakan atau body shaming,” tutur Arifin. 

Pelaku pelecehan, lanjut Arifin, pada umumnya memiliki kecenderungan sebagai penakut. Ini dibuktikan dengan penggunaan akun palsu saat memberikan komentarnya. Padahal apa yang dilakukan di kolom komentar dapat digolongkan sebagai pelecehan seksual.

Sementara itu, peneliti pada Paramadina Public Policy Septa Dinata membedakan pelecehan seksual menjadi tiga jenis pelecehan. Pertama, pelecehan seksual berbasis gender, atau pelecehan seksual berdasar ungkapan atau komentar verbal maupun non verbal. Kedua, unwanted sexual attension. Jenis ini bisa mengakibatkan orang tidak nyaman. 

”Dan yang ketiga, sexual coercion, basanya terjadi karena pelaku menggunakan kekuasaannya untuk mengancam korban. Selain itu, ada yang lebih ekstrem dan mengarah ke pelecehan adalah tindakan stalking (menguntit) dan memata-matai,” kata Septa. (*)

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article