Pemuda dan anak menjadi harta karun bangsa yang akan memimpin negara di masa depan, dan literasi digital merupakan bekal yang tepat agar mereka tidak lagi gagap menghadapi perkembangan dan perubahan. Oleh sebab itu pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika RI menggelar webinar literasi digital dengan tema “melindungi anak di ruang digital” untuk masyarakat Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Senin (16/8/2021).
Webinar tersebut adalah bagian dari program Presiden RI Joko Widodo untuk mengakselerasi kecakapan digital masyarakat dalam menghadapi era transformasi. Melalui program yang dilaksanakan secara serentak itu pemerintah memupuk wawasan literasi digital yang meliputi digital ethics, digital culture, digital skill, dan digital safety.
Webinar kali ini dipandu oleh Fikri Hadil (presenter) dan diisi oleh empat pemateri: Enjat Munajat (dosen Universitas Padjadjaran), Muawwin (penulis buku), Imam Wahyudi, Agus Suryo (kepala kantor Kemenag Banjarnegara). Selain itu juga ada Niya Kurniawan (mom influencer) sebagai key opinion leader dalam diskusi.
Mengawali diskusi, Muawwin mengatakan bahwa saat ini merupakan era masyarakat informasi yang mengandalkan teknologi dan internet, baik dalam memperoleh maupun menyebarluaskannya. Ditambah kehadiran media sosial, informasi semakin masif dan mudah didapatkan dalam beragam bentuk.
Namun keberadaan media sosial menurut Muawwin bagaikan pisau bermata dua yang bisa memberikan dampak positif sekaligus negatif, tergantung bagaimana mengelolanya. Dampak digitalisasi merubah gaya hidup, merubah skema produksi barang dan jasa, dan mengubah sifat alamiah perang menjadi diplomasi.
“Dalam hal penyampaian informasi, media sosial merupakan salah satu produk digitalisasi yang menjadi garda terdepan dalam komunikasi model baru, serta menjadi kanal penyampaian pesan dan informasi. Melalui media sosial juga sebuah informasi dapat mempengaruhi persepsi dan perilaku publik, mempengaruhi pengambilan keputusan baik institusi atau kelompok masyarakat, membentuk opini publik, dan tempat bercampurnya kebenaran dengan kebohongan atau hoaks,” ujar Muawwin kepada hampir 200-an peserta diskusi.
Banyaknya informasi di internet itulah yang membuat pengguna harus lebih waspada. Sebab tak ada jaminan orang terbebas dari hoaks, bahkan orang berpendidikan sekalipun. Maka penting mengedukasi pengguna internet sejak dini dari konten negatif seperti hoaks, sebab di masa depan teknologi akan selalu berkembang dan tidak menutup kemungkinan segala aktivitas akan beralih di ruang digital.
“Hoaks bisa menyerang siapa saja. Motifnya pun bisa karena ekonomi atau untuk mendapatkan keuntungan finansial dari memproduksi hoaks. Atau karena alasan politik untuk membentuk kekuasaan, dan hal ini jamak kita temui menjelang pesta demokrasi,” ujarnya.
Kenyataannya ada industri kapital yang menyediakan jasa pembentukan hoaks. Secara sederhana hoaks diproduksi oleh penyedia jasa dengan ketentuan permintaan oleh klien, kemudian data yang diterima diolah dan dimanipulasi menjadi sebuah konten. Persebarannya, hoaks disampaikan oleh buzzer di berbagai platform media digital sehingga diterima secara massal.
“Hoaks sangat berbahaya merusak persatuan dan kesatuan, berdampak buruk pada kesehatan mental, menyulut kebencian dan permusuhan, meniadakan kelompok lain, memicu terjadinya revolusi dan pergeseran kekuasaan,” lanjutnya.
Hoaks dapat diantisipasi dengan mengetahui ciri-cirinya. Waspada jika menemukan artikel dengan judul provokatif, crosscheck isi berita dan keaslian foto, ikuti grup diskusi anti-hoaks, dan jangan ragu melapor jika menemukan berita atau informasi hoaks.
Sementara itu, Agus Suryo menambahkan menjaga keamanan diri dari banjir informasi di media sosial perlu dibarengi etika bermedia agar terhindar dari ancaman kejahatan siber. Sebab perilaku di ruang digital mencerminkan perilaku di dunia nyata, bahkan tak sedikit karena tidak menjaga etika banyak pemuka publik tersandung hukum.
Ia berpendapat, ceroboh mengunggah konten di media sosial bisa membuat pengguna media digital terlibat dalam perundungan siber, penipuan digital, dan kejahatan siber lainnya. Maka dari itu penting untuk memastikan tidak mengunggah data pribadi di ruang digital.
“Menyalahgunakan data pribadi orang lain dapat berujung pada sanksi hukum. Sebab perlindungan individu itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM pada pasal 29 sampai pasal 32. Pada intinya setiap individu memiliki hak atas perlindungan data pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak miliknya. Jadi apapun bentuk hal yang bersifat pribadi lindungi oleh hukum” imbuhnya.
Pelanggaran atas hak tersebut juga diatur oleh hukum, termasuk dalam UU ITE yang juga melindungi hak dalam bertransaksi dan berinteraksi di ruang digital.
“Penggunaan media sosial tergantung orangnya, teknologi dapat memberi dampak positif sekaligus negatif. Dalam perspektif agama jika niat mengunggah konten hanya untuk pamer itu tidak boleh dilakukan, jika berniat membagikan kegembiraan itu diperbolehkan. Namun jika berniat agar orang lain meniru kebaikan, justru akan mendatangkan pahala,” ujarnya.
Sebab bijak bermedia sosial itu dimulai dari menahan jari-jari agar tidak saling membenci.