Era digital memberi tantangan bagi pendidik untuk bisa cepat beradaptasi dalam menggunakan dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Itulah topik yang dibahas dalam webinar literasi digital yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika RI untuk masyarakat Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, Rabu (25/8/2021). Kegiatan ini merupakan bagian dari program nasional literasi digital yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo untuk mendukung percepatan transformasi digital.
Diskusi virtual ini dipandu oleh Harry Perdana (entertainer) dan menghadirkan empat narasumber: Nanik Lestari (peneliti MAP Universitas Gadjah Mada Yogyakarta), Muhammad Mustafid (ketua LPPM UNU Yogyakarta), Anis Rosidi (Kadis Kominfo Kabupaten Pekalongan), dan Moh. Abdul Kodir (Kepala SMK Muhammadiyah Kesesi Pekalongan). Selain itu, hadir pula kreator konten Priesca Ammelia sebagai key opinion leader. Masing-masing narasumber menyampaikan materi diskusi dengan pendekatan empat pilar literasi digital yang meliputi digital ethics, digital culture, digital skills, dan digital safety.
Dari sudut pandang budaya digital, Moh. Abdul Kodir mengatakan, budaya tak lepas dari kebiasaan dan kebiasaan itu muncul dari pola pikir. Dan, budaya digital yang saat ini mendarah daging sangat ditentukan oleh penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga, budaya digital menjadi prasyarat dalam melakukan transformasi digital. Sebab penerapan budaya digital lebih kepada pola pikir agar dapat beradaptasi dengan perkembangan digital.
“Tantangan budaya itu terletak pada perilaku kita, bagaimana masyarakat secara bersama-sama berpartisipasi mengubah atau memanfaatkan budaya lama menjadi budaya baru yang lebih efisien. Ketika berperan sebagai pendidik bisa mengupayakan hal-hal positif. Seperti memanfaatkan website sekolah sebagai sumber informasi yang up to date dan menyenangkan. Menciptakan perpustakaan online sebagai penyedia sumber bacaan yang bisa diakses dengan online, serta menggunakan media sosial untuk hal positif, sarana pembelajaran,” jelas Moh. Abdul Kodir kepada 200-an peserta diskusi.
Menurut Abdul Kodir, pendidik yang cakap adalah yang menguasai dan memanfaatkan teknologi untuk sarana pembelajaran yang menyenangkan, memiliki wawasan luas, kreatif dan inovatif dalam membuat dan menyampaikan materi belajar. Juga, disiplin dan berkarakter. Karena itu, menjadi pendidik yang cakap harus membangun budaya digitalnya.
“Guru yang cakap mampu memberikan pembelajaran menarik dan interaktif. Menggunakan model penggunaan media yang fleksibel baik di dalam kelas, online maupun gabungan keduanya atau blended learning. Mampu menciptakan feedback atau umpan balik dalam memberikan motivasi dan penghargaan kepada peserta didik, dan menciptakan pembelajaran melalui game menarik yang bertujuan meningkatkan keterlibatan siswa dalam pembelajaran,” urainya.
Sementara itu, dari sisi keamanan digital, Nanik Lestari menjelaskan, pendidik perlu memahami tidak hanya keamanan dalam menggunakan perangkat digital tetapi juga menjaga keamanan fisik. Sebab, di masa pembelajaran digital, fisik yang lebih sering ada di depan layar gadget menjadi mudah lelah dan sedikit bergerak.
Keamanan digital mencakup kecakapan dalam menjaga privasi pribadi dari internet, menjaga keamanan akun dari kemungkinan kejahatan digital, selektif dan cermat dalam memanfaatkan aplikasi dan fitur digital, serta melindungi akun digital dan perangkat digital menggunakan password.
“Maka, menjaga keamanan fisik bisa dibiasakan dengan mengatur jadwal seimbang antara aktivitas digital dengan non digital, memberikan jeda setiap beberapa waktu, melakukan interaksi sosial, dan mencoba menulis dengan pensil dan kertas untuk menggantikan menulis secara digital,” jelas Nanik.
Sebagai pendidik yang cerdas dan cakap juga harus mampu memanfaatkan mesin penelusuran informasi sesuai kebutuhan, kritis terhadap informasi yang dicari dan diterima, pastikan kesesuaian link dengan konten, pastikan akses dari website terpercaya dan mengkomparasikan informasi dengan sumber-sumber yang valid.
“Selain itu, guru mesti mampu mengajari anak didik budaya jujur. Dalam artian bisa menghargai hak karya intelektual. Sebab, di era digital kebiasaan copy-paste mungkin tak terhindarkan. Mengajari anak bahwa jika mengutip atau menggunakan konten milik orang lain harus mencantumkan sumber dan sitasinya,” pungkas Nanik.