Rabu, Desember 25, 2024

Pahami karakter anak Indonesia jaman now

Must read

Gunungkidul – Generasi muda Indonesia tidak bisa terhindar dari pengaruh budaya dan pergaulan. Mereka tumbuh dalam suatu situasi kehidupan berbudaya dan dunia pergaulan yang sangat bebas. Dikhawatirkan tanpa ada pendampingan secara intens bisa memunculkan karakter mirip penjajah atas bangsanya sendiri.

Kekhawatiran itu disuarakan Dosen Universitas PGRI Yogyakarta, Iis Lathifah, saat menjadi narasumber webinar  literasi digital yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Gunungkidul, DIY, Kamis (15/7/2021).

Menurut Iis, peserta didik perlu memahami terlebih dahulu tentang literasi digital, mengingat adanya perbedaan karakter anak Indonesia Jaman Now. Pemeran utama masalah-masalah di Indonesia adalah generasi muda dan generasi yang telah melewati situasi generasi muda itu sendiri.

Sebagaimana yang dimaksudkan dalam tujuan pendidikan nasional, seorang guru berperan mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

“Potensi siswa juga perlu dikembangkan agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab,” ujarnya pada webinar bertema ”Pembentukan Karakter Peserta Didik melalui Literasi Digital di Era Pandemi Covid-19” itu.

Iis Lathifah lantas mencontohkan cara menumbuhkan karakter anak Indonesia. Antara lain mengucapkan salam, maaf, tolong dan terima kasih. “Kita juga perlu mengajarkan etika yang baik misalnya mengajarkan anak untuk duduk saat makan dan minum serta menghormati orang yang lebih tua,” ucapnya.

Berikutnya, peneliti LPPM Universitas Nadlatul Ulama Yogyakarta, Saeroni, menambahkan anak-anak zaman sekarang perlu diberikan dorongan agar mereka melatih kematangan bermedia sosial. Misalnya, belajar untuk tidak mudah memutuskan pertemanan (unfollow, unfriend, block atau blokir) di media sosial maupun media percakapan online.

“Berhadapan dengan pengguna internet dengan latar belakang yang beragam tidak semua orang memiliki pemikiran yang sama atau keberpihakan isu yang sama,” ungkapnya.

Algoritma Internet merekam perilaku bermedia semua orang dalam big data, kemudian menyajikan konten yang sesuai dengan personalisasi. “Bermedia sosial jika tidak menyadari hal ini kita bisa terjebak dalam echo chamber dan filter bubble,” kata dia.

Echo chamber adalah ruang yang seolah-olah ramai beragam komentar tetapi sebenarnya hanya gaung opini yang seragam, amplifikasi dari satu perspektif bahkan seringkali dari satu sumber saja. Sedangkan filter bubble atau gelembung saringan merupakan fenomena penyortiran atau seleksi informasi sesuai dengan personalisasi.

Menurut Saeroni kematangan bermedia sosial setidaknya menjadi bekal mereka saat memasuki dunia digital. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tentang statistik kesejahteraan rakyat Kabupaten Gunungkidul tahun 2020 diketahui penduduk 5 tahun ke atas yang menggunakan internet sejumlah 51,01 persen. Penduduk 5 tahun ke atas yang menggunakan HP atau komputer 75,56 persen.

Dipandu moderator yang juga berprofesi entertainer, Mansyah, webinar kali ini juga dihadiri narasumber Cahyono (Pendidik Madrasah MA Nur Iman Yogyakarta), Ali Rohmat (Kepala Sekolah MA Nur Iman Yogyakarta) dan Cyntia Ardila YM (Entertainer, Musisi dan CEO CV Nirwasta Hutama) selaku key opinion leader. (*)

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article