Sebagai praktisi pendidikan bertahun-tahun, Anggraini Hermana kecewa membaca laporan beberapa lembaga kenamaan asing dalam menilai kualitas pendidikan kita dewasa ini. Banyak hasil survei dan riset mereka mengejutkan. Political Economic Risk Consultant (PERC) belum lama ini menyebutkan, kualitas pendidikan kita ditinjau dari daya literasi dan kecakapan digital Indonesia rangking 12 dari 12 negara yang disurvei di Asia.
Tapi, tak mengejutkan ketika ada anggota Badan Standar Nasional Pendidikan, Dony Kusuma Albertus, yang menyebut untuk sekolah di kota besar memang sudah bagus, tak kalah dengan sekolah sekelas di Asia. Cuma untuk sekolah di pedalaman dan di pedesaan Indonesia masih mengecewakan kualitasnya. ”Apalagi dari segi sarana dan prasarananya, juga kualitas tenaga pengajarnya memang masih jauh dari standart,” ungkap Anggraini mengungkap hal itu saat tampil dalam webinar literasi digital, Indonesia Makin Cakap Digital, besutan Kementerian Kominfo untuk warga Kabupaten Kebumen, Jateng 12 Juli 2021.
Tomy Widyatno, praktisi literasi digital, mengimbuhi. Begitu banyak jumlah pengakses internet Indonesia, yang mencapai 73 persen populasi setara 202 juta dan 170 juta di antaranya mengakses medsos sampai 3,5 jam sehari. Tapi tidak meningkatkan daya kecakapan dan masih mengantar Indonesia pada rangking 37 dari 57 negara dengan daya literasi yang rendah versi riset Lembaga Work Economic Risk dari Swedia.
”Sebuah angka yang memprihatinkan dan menjadi PR kita untuk memulihkannya. Sarana digital terbukti hanya alat tool semata. Kalau tidak didukung keseriusan menjadikan tool guna memudahkan daya kecakapan yang lebih bagus, semua akan jauh panggang dari api. Masih mengecewakan. Karena terbukti di sini kalau teknologi digital bukan jaminan,” ujar Tomy.
Anggraini dan Tomy tampil membahas topik ”Tranformasi Digital untuk Pendidikan yang Lebih Bermutu”, yang diikuti ratusan peserta lintas profesi seantero Kabupaten Kebumen. Dipandu moderator Boby Aulia, hadir dua pembicara lainnya, Fikria Najitama (Wakil Rektor dan pengajar IAINU Kebumen) dan Agus Salim Chumaidi (dosen IAINU Kebumen), serta Mohwid (presenter dan mahasiswa S3) yang tampil sebagai key opinion leader. Webinar dibuka oleh Panut, Kepala Kantor Kemenag Kebumen, dengan pesan pada peserta agar mengambil ilmu positif dari webinar agar menjadi pribadi yang makin cakap digital dan tak mudah tertipu di dunia digital serta makin bijak menyikapi hoaks di dunia digital.
Perspektif keliru para orangtua sekarang yang banyak menilai kalau anak main ponsel itu buruk perlu diperbaiki untuk tingkatkan percaya dirinya. Jangan salah, kata Anggraini, sekarang banyak anak cerdas dan kreatif. Juga guru-guru muda yang inovatif, malah menjadikan Tiktok sebagai sarana menarik dalam belajar. Misalnya, dengan era paperless maka tugas-tugas Fisika disetor dalam kemasan Tiktok dengan beragam visual konten yang lebih gampang dipahami. Dengan begitu, belajar fisika menjadi pelajaran menarik di kelas online.
”Begitu pula guru matematika yang kreatif pintar membuat konten matematika menjadi menarik diikuti di kelas online. Jadi, jangan stereotype-kan kalau main hanphone jadi hal yang negatif. Asal bijak dan kreatif, handphone jadi penunjang belajar online yang cerdas dan membuat kualitas belajar anak makin bermutu,” pesan Anggraini.
Masih soal stereotype. Banyak orangtua yang malu kalau anaknya sekolah di SMK, dan bukan SMA umum. Padahal, banyak ditemukan, anak SMK khususnya teknik mesin yang malahan jadi pribadi mandiri. Mulai servis motor atau pompa air, bahkan kulkas dan teve di rumah sendiri. Bisa buka bengkel motor atau elektronik di rumah. ”Di masa pandemi, mereka yang lulus SMK (dahulu STM) lebih bermakna dan berguna ilmunya. Sementara anak SMA cenderung dalam aplikasi ilmunya, banyak yang tak bisa apa-apa, kan? Jadi, jangan salah persepsi dalam menilai suatu ilmu dalam sekolah, mana yang lebih bermutu? Yang lebih bermanfaat itu yang lebih dihargai dalam masyarakat,” ujar Agus Salim.