Senin, Desember 23, 2024

Tetap rapopo dengan semangat pandemipreneur di era digital

Must read

Menyikapi era pandemi Covid-19 mutakhir, duet penyanyi Campursari Jawa yang lagi hits: Deny Caknan dan Cak Precil, menyemangati kaum milenia dengan tepat lewat sepotong syair lagunya: ”Ketika semua terasa begitu abot, pilihane mung ono loro, aku emoh popo mergo aku tetep rapopo. Ketika semua terasa berat, aku tak menyerah dan tetap nggak papa, terus optimistis.”

Dengan semangat aku rapoponya Deny dan Precil, menurut M. Sholahuddin Nur Azmy, kita bisa punya daya resiliensi. Daya tahan spirit bisnis yang selalu optimistis. Berusaha berpikir untuk membuat riset akurat dalam membuat produk bisnis yang tepat. Terus berusaha memasarkan dengan sarana digital, agar lebih menjangkau pasar luas. Dan yang penting, diinginkan pasar.

Sekadar catatan, 90 persen start up, usaha rintisan, gagal dan bangkrut karena milenial kebanyakan fokus pada produknya saja dan melupakan riset, apakah produknya diperlukan pasar atau tidak. ”Sebagus dan seunik apa pun, kalau tidak diperlukan pasar insyaAllah akan gagal dipasarkan,” urai Sholahudin, CEO Pasar desa.id, saat berbicara dalam webinar literasi digital gelaran Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk warga Kabupaten Banjarnegara, Jateng, 8 Juli 2021.

Tantangan bisnis di masa pandemi adalah menjadi sosok pandemipreneur. Ia adalah sosok yang cerdas dan kreatif memanfaatkan era digital dengan kelebihannya mempertemukan pemilik produk dan sasaran penggunanya dengan memanfatkan teknologi infrastruktur. Butuh cerdas dan jeli agar ketemu kemasan bisnis yang pas. Biar tetap rapopo, memang mesti dimulai dengan riset.

Dengan modal semangat seorang pandemipreneur, bisa meniru apa yang dilakukan OYO atau RedDoor di properti dan sewa kamar hotel pada produk lain, misal bengkel online atau tukang cukur online. ”Kalau berpikirnya pandemi adalah berkah buat menginisiasi bisnis baru, dan bukan menyerah, maka akan banyak ide dan peluang bisa dieksekusi di era pandemi,” ungkap Agus Supriyo, Co-Founder Jelajah.Live, pembicara lain.

Sholahudin dan Agus tampil membahas topik menarik: ”Inisiasi Bisnis dan Semangat Entrepreneur di Era Digital” dalam diskusi yang diikuti secara daring oleh lebih dari 200 peserta lintas profesi dari seputar Kabupaten Banjarnegara. Dipandu oleh moderator Tomy Rumahorbo tampil pula dua pembicara lain: Iqbal Aji Daryono, penulis dan kolumnis digital issue, Edy SR seorang brandpreneur, dan Fahri Azmi, entrepreneur yang tampil sebagai key opinion leader.

Brandpreuner Edy SR mengatakan, yang sering disalahartikan sebagai modal usaha, tidak selalu berarti uang, tapi bisa ide, SDM dan pengetahuan. Namun, Edy menyarankan, modal awal bisnis adalah brand atau merek, yang dalam bahasa Indonesia dipadankan dengan Jenama. Brand adalah nama yang bermakna sebagai identitas, juga bakal menjadi penjamin kualitas, karena mempunyai nilai yang ingin disampaikan ke target pasar kita.

”Makanya, kalau brand sudah kuat di target pasar, meski kita naik motor tergesa dan hujan, dalam posisi kemrungsung, meski sama sama biru, kita mau ke atm tidak akan keliru, meski brand bank sama-sama biru. Kita ndak keliru masuk atm BCA, BRI, BNI dan Mandiri walau semua pakai corak list biru. Di situ kekuatan brand dalam bisnis,” urai Edy SR. Lantas, bagaimana mengelola brand di saat merintis usaha?

Menurut Edy, brand bagus mesti dibuktikan dan konsisten dengan kualitasnya. Kalau misal mau jual dawet ayu, kita diberi brand legit, ya buktikan memang legit di lidah atau nyamleng kata orang Jawa. Tagline batik eksklusif kita disebut Batik Keren, ya mesti buktikan dan jaga corak, jahitan dirasa agar nyaman, dan buat orang-orang yang memakai lebih keren dengan memakai batik produk Anda.

”Dengan memberi pengalaman spesial yang beda dengan produk lain yang sejenis, maka modal brand Anda akan mudah diterima pasar dan mestinya mudah dikembangkan dan diterima pasar,” urai detail Edy SR. Terus, adakah tips dalam marketing brand di era digital?

Yang pasti, promosi di pasar digital dengan modal brand mesti dilakukan konsisten. Kalau kita posting produk, semisal tas atau sepatu dengan merek yang dibranding pink, saat posting di beragam medsos bisa Instagram, TikTok dan Facebook, ya semua selalu bernuansa pink. Biar pesan mudah nyantol di benak target pasar. Jangan isuk dele sore tempe, mudah berubah sikap, tiap hari nuansa warna berganti warna. ”Kita akan diragukan identitas dan kualitasnya, juga dituding sebagai produk yang tak jelas, tak berkualitas. Kalau sudah berhasil, jaga kestabilan mutu dan standarisasi, baik itu promosi go digital delivery dan tetap menjaga layanan ramah pada semua kelas konsumen yang hadir di toko kita. Brand yang sukses akan langgeng dengan pelanggan dan konsumen yang dinamis,” pungkas Edy SR.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article