Minggu, November 24, 2024

Asyik jalani pembelajaran daring, jangan lupa etika digital

Must read

Merdeka belajar merupakan reformasi bentuk pembelajaran di mana tenaga pendidik dan peserta didik mendapatkan hak kebebasan mengajar dan belajar. Bentuk pembelajaran ini mengacu pada active learning di mana di dalam proses belajar guru bertindak sebagai fasilitator dan bukanlah satu-satunya sumber belajar. 

Hal tersebut diungkapkan oleh praktisi pendidikan Anggraini Hermana dalam webinar literasi digital dengan tema ”Pendidikan Online: Era Baru Merdeka Belajar” yang digelar Kementerian Kominfo dan Debindo untuk warga Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Jumat (10/9/2021). ”Siswa memiliki otoritas merdeka belajar meliputi cara maupun tempat belajarnya sesuai dengan minat dan bakat masing-masing,” ujar dia. 

Anggraini mengatakan, tujuan dari konsep merdeka belajar itu sendiri merupakan solusi yang tepat untuk mewujudkan proses pendidikan yang otonom dan fleksibel dengan tujuan terciptanya sasaran dan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. 

Merdeka belajar merupakan reformasi pembelajaran yang mengacu pada perubahan paradigma pendidik, meliputi guru sebagai leader dan fasilitator. Selain itu, guru adalah sahabat dan sekolah adalah rumah kedua.

”Konsep fun and active learning, membuat pembelajaran yang fleksibel dari segi konten, strategi, maupun tempat belajar serta fasilitasnya dengan tetap memegang teguh etika, norma dan sopan santun,” ucapnya. 

Menurut Anggraini, konsep merdeka belajar tetap dalam batasan etika. Yakni, memperhatikan etika ketika berinterkasi secara digital, memikirkan dampak positif negatif ketika akan mengunggah sebuah konten. Lalu, mempelajari etika bahasa penulisan dan menanamkan jiwa kolaborasi dan saling support bagi peserta didik maupun tenaga didik. “Siswa mengaplikasikan teori menjadi sebuah hasil yang nyata,” ujarnya. 

Adapun etika digital yang diperlukan dalam kurikulum merdeka belajar, meliputi menanamkan kepada peserta didik kebiasaan untuk mengkonsumsi konten yang positif saja. Kemudian memahami apa yang diunggah berpengaruh terhadap citra diri sendiri. “Biasakan berpikir terlebih dahulu sebelum berkomentar atau memikirkan dampaknya,” kata dia.

Etika digital lain yang diperlukan yakni kecakapan berbahasa, santun dalam bertutur kata berpengaruh besar terhadap kesan dan penilaian terhadap diri. Lalu, menghargai diri sendiri dan orang lain dengan menjaga penampilan, sikap tenggang rasa dan mau berbagi patut juga dikembangkan. 

“Dengan mentaati dan menerapkan etika berdigital dalam era baru merdeka belajar, mari kita ciptakan era baru merdeka belajar yang tersirat jiwa nusantara yaitu bangsa yang ramah dan berbudaya,” ujarnya. 

Narasumber lainnya, dosen Universitas Jenderal Soedirman, Tobirin mengatakan, dampak dari pandemi Covid-19 ini memaksa sektor pendidikan bertransformasi untuk beradaptasi pembelajaran dari rumah melalui media dalam jaringan. 

Menurut Tobirin, konsep pembelajaran jarak jauh yang masih menjadi problematika untuk diselesaikan, yakni penugasan yang terlalu berat dengan waktu yang singkat. Kemudian banyak tugas merangkum dan menyalin dari buku kepada peserta didik. 

“Jam belajar masih kaku, keterbatasan kuota untuk mengikuti pembelajaran daring dan sebagian siswa yang tidak mempunyai gawai pribadi, sehingga kesulitan dalam mengikuti ujian daring,” pungkasnya. 

Diskusi virtual yang dipandu oleh moderator Zacky Ahmad itu, juga menghadirkan narasumber Ahmad Wahyu Sudrajad (peneliti dan pendidik PP Al Qodir yogyakarta), Oky Andriyanto (praktisi pendidikan), dan Mom Influencer Niya Kurniawan, selaku key opinion leader. (*)

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article