Era ini adalah era yang dikuasai anak-anak generasi Z atau generasi Alfa alias generasi digital. Mereka yang disebut generasi Z ini terlahir dari kurun tahun 1997 sampai 2012, yang rentang usianya 7 sampai 22 tahun. Pola pikir dan perilaku generasi Z ini dinilai berbagai kalangan sudah jauh berbeda dengan tiga generasi sebelumnya, yakni generasi Baby Boomers, X dan Y yang rata rata sudah menjadi kakek-nenek dan orangtua dari generasi Z.
”Satu ciri generasi Z atau generasi digital yang paling menonjol adalah mereka lebih jago atau menguasai teknologi terkini dan berbagai platform digital, karena mereka terlahir di era perkembangan pesat teknologi informasi itu,” kata Agus Sunaryo dari Dinas Pendidikan Kebumen saat menjadi pembicara dalam webinar literasi digital bertema “Pendidikan Bermutu untuk Generasi Anak Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Kamis (9/9/2021).
Dalam webinar yang diikuti dua ratusan peserta itu, Agus mengungkapkan, kreativitas menjadi hal terpenting dalam diri generasi Z yang tak bisa dikekang dengan hal-hal lama yang kaku dan monoton. “Generasi Z ini, perlu disadari para orangtua, sangat independen. Mereka apa-apa bisa sendiri dan jaringan pertemanannya luas berkat akses media digital yang tanpa batas,” ujar Agus.
Satu ciri lagi yang tak bisa diabaikan dari generasi Z yang hobi nonton YouTube dibanding saluran TV mainstream ini, rata-rata saat belia mereka mudah muncul jiwa entrepreneur atau wirausaha. Sehingga mereka banyak yang lebih mandiri sejak awal dengan usaha yang dijalankan dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi.
“Sedangkan tiga generasi sebelumnya, mungkin saja masih banyak yang tak familiar dengan internet, karena belum ada atau masih terbatas jangkauan internet saat masanya. Ketimpangan pengetahuan teknologi ini yang mesti diatasi, agar dalam pembelajaran generasi Z tidak ada ruang terputus berkomunikasi,” tegas Agus.
Agus Sunaryo membeberkan, generasi-generasi yang ada mulai generasi Veteran yang lahir tahun 1928 sampai 1940, dengan usianya 74 sampai 90 tahun jelas tak bisa lagi mengikuti pesatnya perkembangan teknologi. Kemudian generasi Baby Boomers yang lahir tahun 1946 sampai 1964, dengan usia 55 sampai 73 tahun juga disinyalir masih sedikit yang memahami perkembangan teknologi informasi.
Baru mulai generasi X yang lahir tahun 1965 sampai 1980 dengan rentang usia 39 sampai 54 tahun, mulai agak banyak yang memahami teknologi. Sedangkan generasi Y atau generasi milenial yang lahir tahun 1981 sampai 1996 usianya 23 sampai 38 tahun, yang paling bisa mengimbangi pengetahuan generasi Z atas teknologi informasi.
Agus mengungkap, hasil sensus penduduk 2020 di Indonesia terdapat 270 juta lebih penduduk. Dari jumlah itu diketahui 21,88 persen merupakan generasi X, lalu 11,56 persen merupakan generasi Baby Boomers, lalu 10,88 persen merupakan generasi Post Z, kemudian 27,94 persen merupakan generasi Z , dan kemudian generasi milenial atau Y sebesar 25,87 persen.
Dengan kondisi itu, dunia pendidikan di era digital perlu berubah. Guna mengatasi fenomena yang terjadi, di mana sekarang masih banyak lulusan terdidik hanya mengandalkan selembar ijazah untuk mencari pekerjaan. “Sehingga, selalu terjadi antrean pencari kerja,” cetusnya.
Oleh sebab itu, butuh barometer pendidikan bermutu yang semakin menjawab kebutuhan masa depan generasi Z nanti. Bagaimana pun, ujar Agus, pendidikan merupakan proses mengembangkan potensi peserta didik dengan meningkatkan pengetahuan keterampilan dan sikap kepribadian untuk mandiri.
“Perlu dipersiapkan pendidikan yang bisa melahirkan SDM yang memiliki kompetensi memadai, sehingga dapat menjadi pribadi yang mandiri,” tegas Agus.
Agus Sunaryo menambahkan, persiapan adaptasi perlu digencarkan. Karena dalam momentum generasi emas Indonesia, Indonesia akan menuju kebangkitan kedua, yakni 100 tahun kemerdekaan pada tahun 2045.
“Generasi Z, anak-anak Indonesia yang saat ini masih usia sekolah atau kuliah berumur 7 – 22 tahun, pada tahun 2045 akan berusia 31- 46 tahun, usia yang diharapkan sangat produktif untuk mendukung realisasi Indonesia emas,” kata Agus.
Dosen Sosiologi UGM Yogyakarta Mustaghfiroh Rahayu menambahkan, mutu pendidikan Indonesia adalah menghadapi tantangan berat di masa pandemi ini. Rahayu menunjuk hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) 2018. Dari tiga kategori yang disurvei, yakni matematika, membaca, dan sains, Indonesia mendapat nilai jeblok. ”Bukan perkara mudah memperbaiki kualitas dan bukan hanya tanggung jawab sekolah atau guru, tapi juga lingkungan keluarga,” kata Rahayu.
Dimoderatori Dannys Citra, webinar kali ini juga menghadirkan narasumber praktisi pendidikan Yuni Wahyuning, CEO Jaring Pasar Nusantara M. Achadi dan Oka Fahreza selaku key opinion leader.