Kebebasan berekspresi merupakan hal penting bagi manusia sebagai cara untuk menjamin pemenuhan diri dan mencapai potensi maksimal dari seseorang untuk pencarian kebenaran dan pengetahuan.
“Kebebasan berekspresi penting dalam proses pengambilan keputusan, khususnya politik. Kebebasan berekspresi juga memungkinkan masyarakat dan negara bisa saling terhubung dan terakomodasi,” kata Direktur Langgar.co Abdul Rohman, saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema “Kebebasan Berekspresi di Dunia Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin (1/9/2021).
Hanya saja, dalam webinar yang diikuti ratusan peserta itu, Rohman mengatakan, saat meluapkan kebebasan ekspresi itu, baik di ruang digital atau hidup sehari-hari, ada batasan-batasan yang harus diketahui. “Batasan berekspresi di media sosial itu, antara lain, untuk memahami isu-isu sensitif yang bisa memicu perpecahan dan kegaduhan di dunia digital maupun dunia nyata,” ujar Rohman.
Contoh kebebasan berekspresi yang memicu kegaduhan, antara lain, isu agama, suku bangsa, ras, antar-golongan, gender dan seksualitas. Berekspresi dalam ruang digital merupakan hak setiap orang dan tidak bisa dilarang. Namun kebebasan berekspresi harus juga diimbangi dengan kehati-hatian dan tanggung jawab supaya tidak terjadi kesalahan dan pelanggaran terhadap peraturan yang ada.
”Silakan berekspresi sebebasnya, namun harus hati-hati, terutama menyangkut hal-hal yang berbau SARA dan sensitif. Itu bukan untuk menjadi bahan candaan,” kata Rohman.
Tak terkecuali di masa pandemi ini. Kebebasan berekspresi semakin berpotensi menjadi isu liar tanpa dasar. Sebab, pandemi memaksa hampir setiap orang mengalihkan aktivitas di ruang digital dan justru memberi beban ganda.
Abdul Rohman mengungkapkan, ada beberapa hal yang mesti dikembangkan agar bisa mengendalikan dan membatasi ekspresi itu di media digital dan juga dunia nyata. Dengan salah satunya mengembangkan sikap yang terbuka, jujur, adil, bertanggung jawab, arif dan bijaksana.
“Berpeganglah pada dasar negara Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dalam berinteraksi di ruang digital maupun di dunia nyata. Agar menjaga relasi dengan seksama,” kata Rahman. Menurutnya, tiap pengguna perlu selalu bijak pada nilai-nilai leluhur dan budaya masing-masing agar tak terjebak pada kebebasan berekspresi yang tak bertanggung jawab.
Sementara, narasumber lain, pegiat literasi digital Yanuar D. Saputra mengatakan, dalam bebasnya berekspresi di ruang digital yang belum terkendali penuh itu, penting setiap orangtua dan orang dewasa menjaga aspek-aspek keamanan anak di ruang digital.
“Aspek keamanan digital itu salah satunya dari potensi perundungan atau bullying yang sering terjadi secara daring dengan memanfaatkan berbagai fasilitas pesan singkat, email hingga media sosial, dan korbannya bisa anak-anak dan dewasa,” kata Yanuar.
Selain perundungan, keamanan digital bagi anak juga soal ancaman perdagangan orang yang bisa berupa perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang disertai dengan ancaman dari intimidasi yang bertujuan untuk eksploitasi. Ini bisa terjadi baik di dalam negeri maupun luar negeri.
“Aspek keselamatan anak di media digital juga berbentuk ancaman pencurian data pribadi,” ucap Yanuar. Pencurian data pribadi melalui media digital, lanjutnya, menjadi sorotan banyak pihak karena rentan digunakan untuk pelanggaran lain seperti penipuan akun, pemalsuan dokumen sampai perdagangan orang.
Yanuar melansir kasus penipuan secara daring dari 2019 yang sebanyak 1.617 kasus berdasar catatan Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri. Rinciannya: 534 kasus di Instagram, 413 kasus di WhatsApp, dan 304 kasus di Facebook.
Webinar yang dimoderatori Fernand Tampubolon ini juga menghadirkan dua narasumber lain: entrepreneur & graphologist Diana Balinda dan Direktur Eksekutif LP3ES yang juga dosen Ilmu Politik Universitas Bakrie, Jakarta Fajar Nursahid, serta Safira Hasna yang bertindak selaku key opinion leader. (*)