Jumat, Desember 27, 2024

Nyaman di dunia maya, bedakan hate speech dengan free speech

Must read

Dosen Universitas Udayana Bali Ni Made Ras Amanda mengungkapkan, ujaran kebencian (hate speech) sangat jauh berbeda definisi dan maknanya dengan kebebasan berbicara (free speech).

Pemahaman atas hate speech dan free speech ini mempengaruhi kenyamanan interaksi di ruang digital.

“Ujaran kebencian itu tindak pidana yang berbentuk penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan,  memprovokasi dan menghasut penyebaran berita bohong,” ujar Made

saat menjadi pembicara dalam webinar literasi digital bertema “Interaksi Online Nyaman, Kikis Ujaran Kebencian” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Selasa (14/9/2021).

Dalam webinar yang diikuti ratusan peserta itu, Made juga menjelaskan, 

free speech lebih menyangkut hak-hak untuk kebebasan berbicara, yakni berupa bicara baik maupun buruk. Namun, Made mengingatkan, jika free speech itu menjurus bicara buruk atau menyerang orang lain maka dapat berubah menjadi hate speech.

Soal peraturan hate speech, lanjut Made, dapat ditemui dalam pasal 4 dan pasal 16 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi, Ras, dan Etnis. Hal itu bisa dijerat pidana penjara paling lama 5 tahun dan atau denda.

Made mencontohkan, Kanada memiliki program Canadian Charter of Rights. Aturan ini, kata Made, menjamin kebebasan berekspresi warganya, namun dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Tujuannya agar tidak terjadi penghasutan, atau bahkan tindak kriminal.

Made membeberkan pula fakta bahwa Indonesia termasuk negara yang etika digitalnya terendah di dunia. “Penilaiannya berdasar, salah satunya, konten positif yang sangat sedikit di ruang digital. Masih kalah banyak dibanding konten negatif,” kata Made. 

Narasumber lain dalam webinar ini, Kabiro Detik DIY-Jateng Muchus Budi mengungkapkan, internet selama ini memang bisa menyediakan semua data. “Tapi internet tidak akan pernah bisa menggantikan proses pertemuan-pertemuan. Bukan hanya penampungan omongan orang, melainkan konfrontasi kesadaran di mana pada kesadaran ini terdapat dimensi lain, seperti moral etik dan kemanusiaan,” ujarnya.

Media sosial pun bisa berbadan hukum atau tidak berbadan hukum, misalnya perusahaan, ormas, komunitas, dan individu. Muchus menambahkan, media sosial menjadi sebuah media online dengan para penggunanya agar bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki forum dan dunia virtual.

Praktisi Kehumasan Firmanammal dalam paparannya menjelaskan, kini ada cara untuk menghapus postingan ujaran kebencian di medsos. Antara lain dengan cara mengakses www.tweeteraser.com. Firmanammal membeberkan, bentuk-bentuk ujaran kebencian ada beragam dan media apa pun bisa menjadi sumber ujaran kebencian kampanye itu.

Dimoderatori oleh Agung Prakoso, webinar ini juga menghadirkan narasumber lain, yakni Kepala Sekretariat CSO Open Government Partnership Indonesia Darwanto dan Diela Fadiela selaku key opinion leader. (*)

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article