Kamis, Desember 19, 2024

Peluang pasar digital sangat besar dengan anak muda adaptif terhadap teknologi

Must read

Kebiasaan konsumsi masyarakat telah jauh bergeser dari transaksi konvensional ke digital. Hampir semua penjualan di marketplace diketahui belakangan mengalami kenaikan yang luar biasa akibat perubahan konsumsi itu.

“Di sebuah desa di Pekalongan, Pakumbulan, anak-anak muda yang bergerak di sektor penjualan online, pendapatan mereka rata-rata setiap bulan bisa Rp 3 miliar sampai 7,5 miliar di saat pandemi ini,” ujar Ahmad Maulani, tenaga ahli Wakil Ketua DPR RI bidang Kesejahteraan Rakyat saat menjadi pembicara dalam webinar literasi digital bertema ”Ketangguhan Ekonomi Melalui Kewirausahaan Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk warga Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Selasa (14/9/2021).

Dalam webinar yang diikuti 300 peserta itu, Maulani mengungkapkan, penggunaan teknologi digital tak bisa dimungkiri makin memperbaiki proses produksi. Dampaknya akan meningkatkan efisiensi, namun di sisi lain beriringan dengan ketergantungan manusia pada teknologi informasi dan komunikasi.

“Hal itu sudah tidak bisa dipisahkan lagi. Sehingga, mau tidak mau, sebanyak mungkin aktivitas manusia dilakukan melalui teknologi digital,” kata Maulani. Terlebih, faktor physical and social distancing di era new normal membuat minimnya kontak fisik semakin diminati masyarakat.

Ahmad Maulani menyatakan, berdasarkan riset Global Euromonitor 2021, peritel online semakin tak tertandingi oleh peritel konvensional. Satu contoh, Tokopedia kini menduduki peringkat pertama peritel di Asia Tenggara dengan penjualan US$ 11,683 miliar. 

“Masyarakat cenderung membeli kebutuhan sehari-hari melalui e-commerce. Sudah begitu, dibandingkan negara-negara lain, Indonesia memiliki pangsa pasar digital sangat besar,” tuturnya.

Maulani lantas merujuk riset Cadence Internasional, yang menyebut bahwa untuk dompet digital OVO kini memiliki 120 juta pengguna dengan fokus jasa pemesanan makanan. Lalu, aplikasi dompet digital DANA yang memiliki 80 juta pengguna aktif yang didominasi top up pulsa atau data internet, kemudian Go-Pay dengan 190 juta lebih pengguna yang didominasi pemesanan makanan. Selain itu, ada pula Shopeepay dengan 120 juta lebih pengguna yang dominan belanja online, serta LinkAja dengan 71 juta lebih pengguna yang didominasi top up pulsa atau data internet.

Untuk transformasi digital di bidang wirausaha, Ahmad Maulani mengatakan, Indonesia memiliki modal awal berupa infrastruktur teknologi informasi komunikasi yang sudah tersedia dan sepertiga populasi penduduknya adalah anak muda yang sangat adaptif terhadap teknologi. 

Sementara itu, populasi pengguna internet di Indonesia pada 2019 sudah 180 juta orang atau 67 persen dari jumlah penduduk, dengan pengguna aktif internet sebanyak 150 juta atau 56 persennya. “Dengan jumlah itu Indonesia berpotensi mengembangkan ekonomi digital,” katanya.

Lalu, apa saja potensi ekonomi digital Indonesia? Ahmad Maulani mengatakan, kegiatan ekonomi berbasis sharing atau platform ekonomi, khususnya e-commerce, marketplace, vintagedan ride sharing telah menjadi penggerak dan showcase bagi ekonomi digital di Indonesia. 

Sebab, dari 64,2 juta UMKM baru 10 juta yang masuk pasar digital dan hanya 40 persen yang terjangkau akses perbankan. ”Sampai akhir 2020, ada 3 juta pelaku UMKM yang masuk ke ekosistem dalam inisiasi Bangga Buatan Indonesia,” jelas Maulani.

Narasumber lain dalam webinar, dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Janabadra Yogyakarta Budi Setyanta mengatakan, sebelum berwirausaha, perlu diketahui perbedaan entrepreneur dan intrapreneur.

Entrepreneur adalah orang yang menciptakan sesuatu yang baru dan bernilai dengan mencurahkan waktu dan usaha serta berani menanggung risiko untuk menciptakan pendapatan dan kepuasan pribadi serta kemandirian,” tuturnya.

Sedangkan intrapreneur menunjuk arti setiap orang yang bekerja di dalam perusahaan, sesuai peran mereka. Mereka bekerja dengan keterampilan kewirausahaan guna mendorong inovasi di perusahaan tempat ia bekerja. ”Sejauh ini, penghambat wirausaha antara lain pola pikir (mindset) yang salah, mental block, dan suka menunda atau banyak alasan,” kata Budi.

Dipandu oleh moderator Ni Luh Puspa, webinar ini juga menghadirkan narasumber: konsultan IT Maryanto, entrepreneur dan graphologist Diana Balinda, serta Kneysa Sastrawijaya selaku key opinion leader. (*)

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article