Apa itu etika? Apakah perlu bijak beretika di internet? Pengusaha muda bidang pariwisata dari Yogyakarta Gilang Ramado – akrab disapa Mado, membuka paparan pada webinar literasi digital bertema ”Bijak Beretika di Internet” untuk masyarakat Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah dengan dua pertanyaan mendasar terkait tema, pada Rabu (1/9/2021).
Menurut Mado, etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Sedangkan etika berinternet berarti kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan, dan mengembangkan tata kelola etika digital (netiquet) dalam kehidupan sehari-hari.
”Jadi etika di internet itu perlu bahkan wajib. Apalagi sedari kecil semua orang sudah dididik untuk beretika agar bisa berperilaku sopan dan bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dan dan mana yang tidak boleh dilakukan (hak kewajiban),” ujar Mado di depan tak kurang 320 partisipan webinar.
Mado menyatakan, memasuki era disrupsi yang merupakan sebuah era peralihan, di mana informasi yang menyebar di media sosial sudah semakin cepat dan efisien, sehingga menimbulkan efek pembaruan informasi secara cepat dan berpengaruh tanpa disadari. Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana harus menyikapi era disrupsi?
Apa pun, lanjut Mado, era disrupsi harus disikapi dengan menerima perubahan sebagai sebuah keniscayaan disertai meningkatkan kapasitas diri, memegang prinsip moral dan etika, sehingga dapat bijak saat menggunakan sosial media. Dengan cara penyikapan seperti itu, dan didukung kesadaran individu untuk selalu menjunjung tinggi etika moral dunia digital maka hoaks, ujaran kebencian, dan konten negatif dapat tereliminasi.
Hilangnya pegangan moral, kata Mado, akan berakibat pada dekadensi moral atau pupusnya nilai-nilai sosial yang dianut individu dalam masyarakat atau peraturan adat mengenai perilaku seseorang yang dikendalikan oleh moral tertentu dan menjadi kebiasaan sebagaimana yang diharapkan oleh kelompok sosial.
”Beberapa tanda bangsa Indonesia mengalami dekadensi moral: indeks keberadaban digital Indonesia terburuk se-Asia Tenggara menurut survei Microsoft, maraknya cyber bullying (5 dari 10 orang pernah terlibat bullying) dan hoaks, tren di sosial media yang tidak sesuai dengan prinsip moral,” sebut direktur CV Tripsona Indonesia itu.
Bagi Mado, sebagai makhluk sosial, maka interaksi merupakan sebuah kebutuhan. Dengan adanya perkembangan teknologi informasi, kini interaksi dapat dilakukan tidak hanya dengan bertatap muka secara langsung tetapi juga melalui atau termediasi oleh komputer atau perangkat sejenis.
Melanjutkan diskusi, peneliti LPPM Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta Saeroni menyatakan, ujaran kebencian, perundungan (bullying), dan hoaks telah menempatkan netizen Indonesia sebagai juara berperilaku tidak sopan di ruang digital versi Microsoft. Perilaku tidak sopan itu ditegaskan dengan serbuan ke akun resmi Microsoft pasca merilis hasil risetnya.
Bijak beretika di internet mesti memahami panduan dasar dalam menggunakan media sosial yang meliputi menjaga privasi, yakni tidak dengan mudah memberikan informasi data diri di media sosial, menjaga keamanan akun dengan cara membuat kata kunci yang cukup sulit untuk ditebak dan mengubahnya secara berkala, serta menghindari hoaks, artinya tidak mudah percaya dengan berita yang diterima sebelum melakukan krarifikasi.
”Selanjutnya, sebarkan hal positif dengan cara menyebarkan informasi-informasi positif sekalipun di media sosial yang sifatnya eksklusif, dan gunakan media sosial seperlunya, artinya menggunakan media sosial untuk membantu meningkatkan produktivitas diri dan sadari diri jika telah mengalami ketergantungan,” jelas Saeroni.
Webinar yang dipandu oleh moderator Anneke Liu itu, juga menghadirkan Teguh Suroso (Advokat dan Konsultan Hukum), Ja’far Assegaf (Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), dan Virginia Obed (Fashion Influencer) selaku key opinion leader. (*)