Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Achmad Uzair membeberkan pentingnya berita dari media sosial atau medsos perlu disaring para penggunanya.
“Meski karakternya terlihat sangat demokratis karena menyediakan platform yang terbuka untuk semua kalangan, namun media sosial juga memiliki sisi gelap dalam menyajikan informasi,” kata Achmad saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema “Keamanan Berinternet: Tips dan Pentingnya Internet Sehat” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Kamis (23/9/2021).
Dalam webinar yang diikuti ratusan peserta itu, Achmad menuturkan sisi gelap media sosial sebagai ruang yang seolah demokratis merujuk pada penyajian informasi media sosial yang tidak pernah mensyaratkan identitas penulisnya. Media sosial juga tak mensyaratkan aplikasinya menyajikan informasi dengan kualifikasi tertentu atau melalui proses editorial yang ketat seperti media massa konvensional atau disebut legacy media.
“Penyajian informasi legacy media lebih lambat dibandingkan kecepatan media sosial dalam menggulirkan berbagai informasi secara real time. Tapi informasi yang lolos di legacy media hanya memberi akses pada penulis atau kontributor resmi dari media itu, dan yang pasti difilter,” kata Achmad.
Beda dengan informasi yang disajikan media sosial. Meski menang cepat dan nyaris tidak ada sensor atau filter redaksionalnya, informasi itu belum bisa dipertanggungjawabkan. “Karena di media sosial anyone, atau siapapun, boleh menggunakan atau mempublikasikan unggahannya, media sosial menjadi platform yang sangat terbuka karena informasi yang diunggah tak tersaring untuk mendapat persetujuan,” tegas Achmad.
Dengan kondisi itulah, ujar Achmad, seringkali media sosial jadi sarang hoaks atau fakenews. Ini satu tantangan digitalisasi dalam kehidupan. “Bahkan 30-60 persen warga Indonesia terpapar hoaks, tapi hanya 21- 36 persen yang mampu mengenalinya,” kata Achmad mengutip temuan Katadata Insight Center.
Mereka yang rentan terpapar atau jadi serangan hoaks, ujar Achmad, biasanya penduduk yang tinggal di perkotaan pulau Jawa. Karena penduduk itu memiliki akses internet yang mudah dan murah. “Semakin sering penggunaan internet semakin besar kemungkinan meneruskan berita palsu atau hoaks,” tegas Achmad.
Achmad mengatakan internet memberi akses pada informasi yang lebih luas daripada model pembelajaran sebelumnya. Mesin pencari seperti Google membuat akses yang lebih mudah sekaligus membuat orang bergantung pada internet.
Dampak negatif hadirnya mesin pencari, lanjut Achmad, tak jarang membuat banyak orang merasa pintar sendiri. Alias tidak mau dialog dengan orang lain atau bertanya ke ahli di sekitarnya. “Tak mau dialog atau bertanya, ini hal yang membahayakan karena pengguna bisa tidak mengetahui bahwa informasi itu benar atau salah,” urai Achmad.
Di sinilah literasi digital menjadi penting untuk ditanamkan. Literasi digital diibaratkan sebagai vaksin untuk menjaga daya tahan tubuh. Jika telah diberikan vaksin maka setidaknya orang lebih terlindungi dari bahaya penyakit atau kejahatan siber. “Literasi digital menjadi tameng supaya dapat menangkal terpaparnya bahaya negatif internet seperti radikalisme,” tandas Achmad.
Narasumber lain webinar ini, dosen UGM Zainuddin Muda Monggilo mengatakan, saat ini masanya generasi Alfa atau generasi yang lahir tahun 2010 ke atas. Tantangan digitalnya pun berbeda-beda. “Generasi ini akan menghadapi lebih banyak konten negatif, isu-isu etik, kemanusiaan,” kata Zainuddin.
Webinar yang dimoderatori Amel Sannie ini juga menghadirkan narasumber digital marketer Eko Sugiono, Kepala Dikpora Jepara Agus Tri Harjono, serta Adinda Daffy selaku key opinion leader. (*)