Sebagai netizen, bangsa Indonesia dalam berperilaku dan berinteraksi di medsos mestinya selalu mengacu pada Pancasila sebagai ideologi bangsa yang dirancang dengan komprehensif oleh founding father bangsa kita. Saking luhurnya nilai dan ideologi yang dibawa Pancasila, jangan sembarang mencatut untuk koment yang orang Jawa bilang ”ora empan papan”, tak cocok dengan situasi dan kondisi.
Tapi, dasar ideologi itu kini sering disalahtafsirkan. Belum lama, ada netizen yang kurang ajar. Cuitannya salah tempat dan memperburuk nama baik kita di dunia maya. Sementara, belum lama kita heboh mendengar penilaian Microsoft yang menyebut netizen kita paling tidak sopan.
Yang terjadi, selain menyerbu akun Instagram Microsoft, ada juga yang mencuit, ’Lho, Microsof lupa, kitorang basudara lo. Dan, kita punya Pancasila yang ajarkan Persatuan Indonesia. Kalau soal serang menyerang, kita so bersatu.’
”Itu komentar kebablasan, dan saya ikuti terus banyak netizen lain meralat dan minta maaf, semoga tak memperburuk situasi,” ungkap entrepreneur dan konsultan bisnis Widiasmorojati, saat tampil sebagai narasumber dalam webinar literasi digital: Indonesia Makin Cakap Digital, yang diselenggarakan oleh Kementerian Kominfo untuk warga Kabupaten Brebes, 28 September 2021.
Pancasila lewat sila pertamanya mengajarkan cinta kasih, saling menghormati sesama. Lalu, kemanusiaan mengajarkan tata krama dan toleransi sesama warga. Persatuan juga dalam arti positif: saling membantu kalau teman butuh dukungan saat mempromosikan produk di dunia maya, ya di-subscribe Youtubenya agar meroket namanya. Jangan dijatuhkan.
Sila keempat, lanjut Widi, intinya mengajarkan demokrasi, juga mengajar bermusyawarah yang positif di media sosial. Dan sila kelima, bersikaplah adil pada sesama, jangan saling ejek dan mengumpat.
”Jadi mestinya Pancasila membentuk pribadi kita semua selama berinteraksi sosial di medsos, berusaha menjadi netizen yang bisa menjadi problem solver, pintar mengatasi beragam masalah, Bukan malah muncul sebagai trouble maker, pembuat masalah. Jangan malah sembrono menunggangi dan salah tafsirkan nilai-nilai Pancasila untuk kepentingan netizen yang merugikan bangsa,” pesan Widiasmoro serius.
Tak tampil sendiri dalam webinar yang mengusung topik ”Bijak Berkomentar di Ruang Digital”. Dipandu moderator Hary Perdana, webinar juga menghadirkan tiga pembicara lain: Murniandani Ayusari (content creator dari Jaring Pasar Nusantara), Andika Rendra Pribadi (praktisi pendidikan yang juga fasilitator Kaizen Room), dan Muh. Adnan (CEO Vievture Creative Solution) serta Knesya Sastrawijaya, business owner yang tampil sebagai key opinion leader.
Memang, menurut Muh Adnan, temuan teknologi smartphone di tangan kita sekarang mengantar pada perubahan besar yang membawa kita ke dunia baru, dunia digital. Migrasi ke dunia digital, terlebih di masa pandemi, memang membawa dua sisi, baik yang bernilai positif maupun negatif. Boleh jadi, ini sudah sunatulllah. Konten negatif yang sering muncul, lanjut Adnan, bukan hanya gim perjudian dan video berisi pornografi.
”Selain itu, juga banyak konten anak di bawah umur yang berkelahi, itu mestinya dilaporkan agar diblokir. Ajakan perubahan sosial tatanan negara dengan cara kekerasan, itu juga mesti distop dan dilaporkan. Peran serta kita semua penting dalam membatasi penyebaran konten negatif yang makin membanjiri medsos kita,” ujar Adnan.
Sementara Andika Rendra mengatakan, etika bermedsos yang sering marak di masa pilpres dan pilgub adalah hadirnya fenomena Filter Bubble dan Echo Chamber. Filter Bubble, kelompok ini hanya mau menerima pendapat dan mau berdiskusi dengan sesama netizen yang sama pandangan dan pikirannya. Dia akan menolak pandangan yang berbeda dengan dia. Dia menjadi hanya bergaul dengan yang sepemikiran. Itu tak bagus.
”Sedangkan Echo Chamber, selalu mendengungkan pikiran sendiri dan mengira semua sama dengannya. Lalu, gampang main blokir pertemanan dengan yang menolak pikirannya. Ini bahaya dan membuatnya tak berkembang,” terang Andika dari Kaizen Room.