Praktisi teknologi finansial yang juga digital marketing dan creative branding Fadrian Gultom menuturkan, kalangan anak muda menjadi target potensial dari penyebaran paham radikalisme di ruang digital.
“Kalangan muda menjadi target potensial penyebaran radikalisme lewat media digital karena tiga hal, yakni: faktor akses teknologi, menguasai informasi, dan memungkinkan regenerasi,” jelas Fadrian saat menjadi pembicara dalam webinar literasi digital bertema “Antisipasi Radikalisme Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, Jumat (20/8/2021).
Dalam webinar yang diikuti 347 peserta itu, Fadrian menjelaskan, faktor teknologi dari kalangan anak muda berkaitan dengan akrabnya mereka pada perkembangan dunia saat ini. Terutama keakraban kaum milenial, generasi Z, dan generasi X terhadap teknologi yang kini sedang tren dan digandrungi.
“Sedangkan terkait soal informasi, penyebar paham radikalisme ini mungkin berpikir sebagian generasi muda cenderung menerima informasi begitu saja, tanpa melakukan proses validasi, cek dan ricek, juga kroscek terlebih dulu,” ujar Fadrian.
Di tengah mobilitasnya yang aktif dan kebutuhan eksistensi diri, jikalau kalangan muda itu tidak punya benteng diri kuat, minim literasi digital, kecenderungan yang terjadi mereka akan menelan mentah-mentah begitu saja konten radikalisme di media sosial itu.
Tidak jarang, persepsi kalangan muda terhadap radikalisme belum utuh dan cenderung sangat permisif dengan perilaku intoleran dan radikal yang terjadi di sekitarnya maupun ruang digital.
Adapun faktor regenerasi menjadi penyebab radikalisme menyasar kalangan muda, karena keinginan para penyebar itu melanggengkan aksinya dan anak muda dinilai bisa menjembatani bagaimana paham yang mereka tanamkan berlanjut atau terus tumbuh. Terutama dengan bonus demografi di Indonesia penting menjadi perhatian agar melimpahnya sumber daya anak muda ini tidak menghasilkan dampak negatif, khususnya akibat paparan radikalisme.
“Walau demikian, menurut indeks potensi radikalisme tahun 2020, kita mengalami penurunan dari 38.4 pada tahun 2019 menjadi 14.0 dari skala 0-100,” kata Fadrian.
Fadrian menyebutkan, generasi muda rentan terhadap provokasi kelompok radikal. Sebab, di satu sisi radikalisme menjadi isu yang selalu aktual karena menemukan relevansinya dengan banyak kasus. Terlebih dengan kasus terorisme yang masih sering terjadi dan melibatkan banyak generasi muda di dalamya sebagai komponen.
“Oleh sebab itu, penting memberikan edukasi literasi digital kepada kalangan muda ini secara intens, agar bisa berpikir kritis, tak mudah terpengaruh, direkrut dan dimanfaatkan untuk penyebaran paham-paham radikal,” tegas Fadrian.
Sementara itu, narasumber lain dalam webinar, Kepala MTsN 2 Pekalongan Imam Sayekti mengatakan, kelompok radikalisme yang salah satu cirinya menyikapi sesuatu yang tak sesuai pandangannya dengan kekerasan dan emosional, sebenarnya menandakan sampai sejauh mana pendalaman agamanya.
Imam pun merujuk petuah yang pernah disampaikan tokoh K.H. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) beberapa waktu lalu tentang ciri kelompok radikal ini. ”Kelompok yang keras-keras itu baru belajar sampai bab Ghodob (marah) sudah berhenti. Mereka lantas mengira, Islam hanya berisi ajaran untuk marah. Marah terus ke mana-mana, padahal setelah itu ada bab sabar, tawaddhu,” kata Imam.
Dimoderatori Nindy Gita, webinar ini juga menghadirkan narasumber lain yakni Kepala Seksi Kelembagaan Kementerian Agama Jateng H.M. Nurkholis, Entrepreneur & Founder Kampung Adiratu, Tatty Apriliyana, serta Iftihal Muslim selaku key opinion leader. (*)