Perdebatan dan diskusi mengenai trasformasi digital sebagai anugerah atau musibah selalu menarik minat untuk dibicarakan. Pengawasan netizen berkelanjutan terhadap transformasi digital menjadi diskusi publik, hal itu untuk menjamin kualitas nalar publik.
Dosen Fisipol UGM, Frans Djalong mengatakan platform digital membawa banyak manfaat multisektor, seperti sektor ekonomi, pendidikan, kesehatan, kebudayaan. Namun ruang digital bisa menjadi musibah ketika tidak dimanfaatkan dengan baik. Semisal menjadi ruang pelarian dari pergaulan offline, sehingga keasyikan sendiri bersibuk dengan game dan konten yang tidak edukatif.
“Kemudian bergaul dengan komunitas sendiri, menjadi pribadi yang tidak terkoneksi dengan pergaulan offline (antisosial),” katanya dalam webinar literasi digital dengan tema “Transformasi Digital: Musibah Atau Anugerah” yang digelar Kementerian Kominfo dan Debindo bagi warga Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Rabu (29/9/2021).
Menurut Frans, ruang digital menjadi musibah jika dipakai untuk menjadi pribadi yang narsis dan histeria, berpendapat semaunya, kemudian menjadi narsis. “Menjadi musibah jika ruang digital dijadikan ruang membully, anti perbedaan, sektarian, polarisasi dan mudah digiring oleh viralitas kerumunan,” tuturnya.
Kemudian, lanjut Frans, ruang digital juga menjadi musuh jika terbentuk masyarakat yang konsumtif, tampak superaktif dengan gadget tapi tidak produktif. Lalu, persepsi publik bergantung semata pada algoritma dan bergantung pada viralitas.
Bahkan, kata Frans, ruang digital bisa menjadi musibah ketika masyarakat digital mudah dikontrol kekuatan dominan. Konsumen informasi dan berita yang dipropagandakan kekuatan ekonomi atau kekuatan politik tertentu atau dari negara adidaya tertentu saja.
“Ironi Indonesia, pengguna internet sangat banyak khususnya generasi muda. Namun masih sebatas konsumen konten digital tidak kritis, tidak berkontribusi dalam ekonomi, nasionalisme budaya,” paparnya.
Untuk itu, imbuh Frans, dengan potensi ancaman seperti itu maka diperlukan adanya program literasi digital yang berdasarkan pada literasi pengetahuan. Ruang digital juga harus dipenuhi para pembelajar, guru dan murid, sebagai pembeda terhadap netizen arus utama. “Tidak dikendalikan viralitas dan digiring kekuatan raksasa yang memonopli ruang digital,” kata dia.
Kemudian juga kolaborasi antara komunitas pendidikan dan komunitas pegiat IT untuk mengembangkan program-program literasi digital teknis berhubungan dengan literasi pengetahuan substantif.
Narasumber lainnya, Pengajar sekaligus Penggiat Literasi Digital, Riant Nugroho mengatakan untuk benar-benar aman dalam era digital dan menjadi warga negara digital, pengguna harus sudah mempunyai kapasitas menguasai digital.
Salah satu basic yang perlu dimiliki yakni kemampuan literasi digital, yakni kemampuan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk mengkomunikasikan konten atau informasi dengan kecakapan kognitif dan teknikal. “Kita bukan saja pengguna, tapi pencipta dan yang kita ciptakan adalah kebaikan,” ucapnya.
Dipandu moderator Safiera Aljufry, webinar kali ini juga menghadirkan narasumber Kristoforus Sinsellus (Pembimas Katolik Kanwil Kanwil Kemenag Provinsi DIY), Eddie Siregar (Penggiat 4 Pilar Kebangsaan), dan Seniman Dibyo Primus selaku key opinion leader. (*)