Gerakan radikalisme bisa dipicu melalui sebaran informasi-informasi hoaks atau berita bohong yang berulang dan masif melalui berbagai media. Dewan Pengawas Perum Produksi Film Negara (PFN) Rosarita Niken Widiastuti mengungkap, masifnya penyebaran berita hoaks itu ditengarai dapat menimbulkan berbagai dampak serius, dari sekadar emosi hingga pecahnya sebuah bangsa.
“Berita hoaks sangat berbahaya, karena informasi itu akan memicu kemarahan, kebencian, dan berpotensi merusak moral serta disintegrasi bangsa,” kata Niken saat menjadi pembicara dalam webinar literasi digital bertema ”Menguatkan Kebangsaan Antisipasi Radikalisme Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Kamis (19/8/2021).
Dalam webinar yang diikuti ratusan peserta itu, Niken mengungkapkan, di sejumlah negara, berkembang teknik sebaran hoaks yang mesti diantisipasi karena sangat mudah diadopsi dan diterapkan di Indonesia, yang kini juga sudah disokong kemajuan digital dan meluasnya penggunaan internet dari desa hingga kota.
Teknik sebaran hoaks itu bernama semburan kebohongan atau dusta, yang juga populer dengan sebutan firehose of falsehood. Niken menjelaskan, teknik ini sebenarnya sudah berkembang sejak era perang dingin yang menggunakan metode terus menerus membangun dan mengeluarkan isu-isu negatif dan palsu demi membentuk ketidakpercayaan massa secara masif atas sebuah sistem pemerintahan yang berkuasa.
“Jadi firehose of falsehood ini bisa dikatakan semacam teknik propaganda untuk mengaburkan dan mendorong agar targetnya terpengaruh tanpa sadar mengikuti tindakan yang diinginkan propagandis,” urai Niken.
Jika pada masa silam alat proganda itu hanya terbatas pada selebaran lalu berkembang menjadi media cetak, kemudian beranjak ke media elektronik, kini semakin masif karena adanya internet yang melahirkan banyak ruang digital. ”Kanal untuk melancarkan teknik semburan fitnah ini terdukung internet melalui media sosial, aplikasi percakapan, bahkan media massa,” kata Niken, yang juga Staf Ahli Kemenkominfo.
Niken lalu memerinci ciri-ciri teknik semburan kebohongan itu. Di antaranya, bersifat masif dan memanfaatkan berbagai kanal atau platform media berbasis internet. Produksi dan penyiaran pesan berantai dalam jumlah massal dilakukan secara cepat, berulang, tanpa henti, dan tak peduli lagi soal fakta, juga kebenarannya.
”Tiga sifat teknik semburan kebohongan ini adalah cepat, terus menerus, dan berulang-ulang. Tidak ada komitmen pada fakta dan tidak pula komitmen pada konsitensi pandangan,” tegas Niken.
Operasi semburan dusta ini diperkirakan baru mereda jika tujuan sudah tercapai. Yakni, mempengaruhi opini publik atas sesuatu, meski caranya sangat membahayakan. Konten propaganda yang diproduksi jenisnya beragam, sepanjang bisa dimunculkan di platform digital, bahkan tak jarang disertai manipulasi kata, suara, simbol, juga pesan tertulis demi mengaduk-aduk emosi penerimanya.
Satu sisi, lanjut Niken, teknik ini juga bisa mencapai jangkauan luas karena disokong internet dan berharap semakin banyak pengguna media digital membagikannya agar tampak yang menyuarakan lebih banyak.
Niken lantas membeberkan fakta, meski serangan hoaks begitu masif namun masyarakat di Tanah Air masih bisa memiliki pertahanan dan nalar sehat, sehingga tak sampai membuat kepercayaan atas pemerintah turun.
Hal ini ditunjukkan Niken dari survei atas kepercayaan masyarakat terhadap institusi di Indonesia pada 2018 mengacu hasil survei Edelman, bahwa indeks kepercayaan terhadap institusi (Trust Index) Indonesia naik menjadi 71 persen.
“Dari survei itu, kita bisa melihat, meskipun ujaran kebencian, hoaks merajalela, namun tingkat kepercayaan masyarakat masih tinggi karena sebagian besar rakyat sadar dan tak mau diperalat,” ujar Niken.
Narasumber lain dalam webinar, Nurul Hajar Latifah mengatakan, mencegah radikalisme dapat dilakukan dengan berbagai upaya bersama antara pemerintah dan masyarakat. “Salah satunya dengan memperkuat pendidikan kewarganegaraan atau civic education untuk menanamkan pemahaman yang mendalam tentang empat pilar kebangsaan, yakni Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI,” ujar aktivis Lintas Iman Klaten itu.
Nurul menambahkan, pencegahan radikalisme bisa ditekan lewat upaya mengarahkan para pemuda pada beragam aktivitas yang berkualitas baik di bidang akademis, sosial, seni, keagamaan, budaya maupun olahraga. “Penting pula memberikan keteladanan kepada pemuda, karena tanpa keteladanan penyelenggara negara, tokoh agama, dan tokoh masyarakat maka upaya yang dilakukan akan sia-sia,” kata Nurul.
Webinar yang dimoderatori Mafin Rizky ini juga menghadirkan dua narasumber lain, yakni Eka Y. Saputra (web develop specialist) dan Noviana Dewi (dosen STIKES Nasional Surakarta), serta Karina Basrewan selaku key opinion leader. (*)