Perkembangan komunikasi digital memiliki karakteristik komunikasi global yang melintasi batas-batas geografis dan batas-batas budaya. Sementara batas geografis dan budaya juga memiliki batasan etika yang berbeda.
“Setiap negara bahkan daerah memiliki etika sendiri, begitu pula setiap generasi memiliki etika sendiri misalnya soal privasi begitu juga interaksi digital antar golongan sosial lainnya,” ujar Kasi Penyuluhan Agama Islam Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Tengah H. Khamdani saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema “Adaptasi Literasi Digital Bagi Penyuluh Agama” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin (4/10/2021).
Dalam webinar yang diikuti hampir 500 peserta itu, Khamdani menuturkan semua kondisi perbedaan kultur itu akan memunculkan persoalan-persoalan etika. “Artinya dalam ruang digital kita akan berinteraksi dan berkomunikasi dengan berbagai perbedaan cultural tersebut sehingga sangat mungkin pertemuan secara global tersebut akan menciptakan standar baru,” kata Khamdani.
Etika atau lazim disebut ethics berasal dari bahasa Yunani ethos yang bermakna norma-norma atau nilai-nilai kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku.
Menurut Khamdani, dalam pergaulan antar sesama etika-lah yang menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk. Pedoman etika berkomunikasi tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat. Agar mereka senang, tenang, tentram, dan terlindungi tanpa merugikan kepentingan bersama serta menjamin agar komunikasi yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak asasi pada umumnya.
“Realita Indonesia dikenal ramah di dunia nyata tetapi dianggap kurang beretika di dunia maya, Indonesia mendapat ranking 29 dari 32 negara karena tiga faktor utama yang mempengaruhi yaitu hoaks atau penipuan ujaran kebencian dan diskriminasi,” kata Khamdani.
Saat ini, kata dia, sebagian kecil orang lebih menikmati perseturuan antarindividu dan perkelahian antar kelompok daripada mendamaikan yang sedang berseteru. Lalu konflik di tingkat elit berpotensi memicu konflik horizontal di dunia yang sesungguhnya bahkan netizen amat mudah untuk mencaci memaki, merendahkan dan mudah menyalahkan orang lain.
“Itulah mengapa menjaga harkat dan martabat manusia serta persatuan dan kesatuan bangsa utama lebih penting dari sekedar viral, jadilah bagian dari solusi bukan bagian dari polusi di ruang digital,” katanya.
Berikutnya, Afief Mundzir dari Kemenag Jateng menyoroti soal budaya digital yang dibutuhkan di ruang digital, salah satunya bagaimana bisa mempertahankan keragaman budaya Indonesia, yang saling menghormati perbedaan dan menciptakan ruang diskusi nan sehat.
“Budaya digital menjadi bagian upaya menguatkan karakter berbangsa manusia modern melalui pemikiran, kreativitas, dan cipta karya masyarakat menggunakan teknologi internet,” katanya.
Budaya digital yang baik yang perlu dibangun di ruang digital dengan berpartisipasi aktif menekan hoaks, disinformasi dan misinformasi yang berpotensi merusak persatuan bangsa.
Webinar ini juga menghadirkan narasumber Technology Entrepreneur dan Innovation Warrior, Erlan Primansyah, dosen UIN Sunan Kalijaga Waryani Fadjar, serta dimoderatori Zacky Ahmad juga Decky Tri selaku key opinion leader. (*)