Dampak rendahnya pemahaman nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika di era perkembangan teknologi saat ini, menyebabkan tidak mampunya pemahaman batasan antara kebebasan berekspresi dengan perundungan siber, ujaran kebencian, pencemaran nama baik atau provokasi yang mengarah kepada perpecahan di ruang digital.
Hal tersebut diungkapkan oleh Head of Operation PT Cipta Manusia Indonesia, Rizqika Alya Anwar, dalam webinar literasi digital bertema ”Kreatif Lestarikan Nilai-nilai Pancasila di Ruang Digital” yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bagi warga Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, pada Rabu (15/9/2021).
Kemudian, dampak lainnya, kata Alya, dengan kurangnya pemahaman nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, yakni menjadi tidak mampu membedakan keterbukaan informasi publik dengan pelanggaran privasi di ruang digital. ”Selain itu, juga tidak mampu membedakan misinformasi, disinformasi dan malinformasi,” tuturnya.
Menurut Alya, ada tiga aspek penting untuk membangun budaya digital di masyarakat. Pertama, bagaimana agar masyarakat berpartisipasi memberikan kontribusi untuk tujuan bersama. Kedua, bagaimana mengubah budaya lama menjadi budaya baru yang lebih bermanaat. Terakhir, memanfaatkan hal-hal yang sudah ada untuk membentuk hal baru.
Alya mengatakan, nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika juga mutlak dimiliki oleh masyarakat dalam berinteraksi di dunia digital. Alya kemudian menyebut, nilai Pancasila di ruang digital di sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa berupa cinta kasih, menjaga toleransi dan saling menghormati perbedaan kepercayaan di ruang digital.
Kemudian sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, yakni setara atau memperlakukan orang lain dengan adil dan manusiawi di ruang digital. Lalu sila ketiga, Persatuan Indonesia, yakni harmoni atau mengutamakan kepentingan indonesia di atas kepentingan pribadi atau kelompok.
Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan yakni demokratis atau memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk bebas berekspresi dan berpendapat di media sosial. Terakhir, sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yakni gotong royong atau bersama membangun ruang digital yang aman dan etis bagi setiap pengguna.
Alya mengungkapkan, dengan memiliki kultur digital, masyarakat mempunyai kemampuan individu dalam membaca, menguraikan, membiasakan, memeriksa, dan membangun wawasan kebangsaan, nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari.
”Kultur digital merupakan prasyarat dalam melakukan transformasi digital, karena penerapan budaya digital lebih kepada mengubah pola pikir agar dapat beradaptasi dengan perkembangan digital,” ucapnya.
Narasumber lainnya, Peneliti Magister Administrasi Publik UGM, Nanik Lestari mengatakan, aplikasi nilai-nilai Pancasila ke ranah digital yakni riwayat atau jejak digital yang bersih dari konten-konten negatif. Selain itu, ketika mendapatkan suatu informasi, terlebih dahulu disaring sebelum membagikannya ke pengguna digital lain. ”Tidak rasis, bullying dan berhati-hati dalam berkomentar. Juga, tidak hoaks dan tabayyun dulu,” ujarnya.
Kemudian, memanfaatkan media sosial dengan aplikasi atau platform digital untuk kebermanfaatkan seperti mempererat silaturahmi, menjaga perasaan, dan mempermudah jarak. ”Berikutnya, dalam memberikan informasi apa pun di dunia digital harus bersikap netral,” jelas Nanik.
Dipandu oleh moderator Ni Luh Puspa, diskusi virtual kali ini juga menghadirkan narasumber Zahid Asmara (Filmaker & Art Enthusiast), Suhardi (Kepala SMAN 2 Rembang), dan Putra Dirgantara Indonesia 2017 Kevin Benedict, selaku key opinion leader. (*)