Bukan hal baru dan mengagetkan bila anak-anak saat ini lebih pintar daripada orangtua dalam hal penguasaan teknologi dan penggunaan akses internet. Hal ini dinilai sebagian kalangan wajar saja. Namun, ada hal-hal yang patut diwaspadai orangtua ketika anak mereka lebih fasih untuk terkoneksi tanpa batas dengan banyak hal lewat internet itu.
“Ada sejumlah ruang yang ‘cukup berbahaya’ bagi perkembangan diri anak ketika berinteraksi di ruang digital. Tidak melulu ruang komunikasi yang serba bebas di media sosial, tapi juga bisa melalui game online,” kata Ketua Dewan Pembina Internet Development Institute Sigit Widodo, saat menjadi pembicara dalam webinar literasi digital bertema “Kesadaran Digital bagi Orangtua” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Kamis (19/8/2021).
Dalam webinar yang diikuti 350-an peserta itu, Sigit menuturkan, game online bisa menjadi ruang berbahaya bagi anak, karena dipicu satu fiturnya yang memungkinkan para gamer berkomunikasi yakni chat room. Sepanjang pantauan dan pengalaman Sigit, lewat fitur chat room inilah seringkali keluar obrolan-obrolan yang tak berhubungan dengan game yang sedang dimainkan.
“Banyak sekali hal-hal sensitif dibicarakan melalui chat room ini oleh antar pengguna, bahkan hal-hal tak baik yang lebih sensitif daripada komunikasi di media sosial, yang sedianya tak layak dikonsumsi anak di bawah umur,” ujar Sigit.
Sigit pun mengimbau, para orangtua tidak sekadar mendampingi anak-anaknya yang bermain game online itu, melainkan juga memantau apakah anaknya aktif terlibat dalam chat room tersebut lalu apa saja yang dibicarakan.
Sigit mengatakan, sebenarnya tidak masalah orangtua tertinggal jauh informasi dalam dunia teknologi dengan si anak, sepanjang pengawasan dan pendampingan tetap berjalan. Sebab kadang dari lebih pintarnya anak tersebut memgoperasikan aplikasi dan gawai, muncul kreativitas kreativitas yang dibutuhkan di era ini. Misalnya anak terdorong untuk mendalami ketrampilan editing video atau foto, pasca dirinya gemar bermain media sosial.
“Namun, tegakkan aturan juga pada si anak, bahwa untuk bermain media sosial, idealnya jika anak minimal sudah berusia 13 tahun. Pikirkan dampaknya bagi si anak jika sebelum usia itu sudah dibiarkan mengakses media sosial. Kalau tidak tahu dampaknya, sebaiknya tidak diizinkan terlebih dahulu,” tegas Sigit.
Sebab berkaca dari penelitian Neurosensum Indonesia Consumers Trend 202 lalu, sekitar 87 persen anak-anak di Indonesia sudah dikenalkan media sosial sebelum menginjak usia 13 tahun. “Padahal berbagai platform besar seperti YouTube, Instagram, dan Facebook jelas-jelas menerapkan batas minimum usia pengguna platform mereka adalah usia 13 tahun,” ujar Sigit.
Sigit mengatakan dari media sosial yang terakses lebih dini oleh anak itu, orangtua wajib memikirkan dampak, norma dan hal-hal sensitif yang tersaji. “Jangan tinggalkan anak sendirian di dunia daring, dampingi mereka saat bermain gawai, seleksi konten yang sesuai usianya, pahami dan cek media digitalnya, serta jelaskan tentang hal-hal positif dan negatif dari ruang digital,” kata Sigit.
Sigit mengatakan, anak perlu tahu, satu manfaat positif media digital mereka bisa mendapat inspirasi ketika ingin memproduksi suatu konten karya sejak usia dini. Apalagi di masa pandemi yang serba terbatas ini, anak-anak perlu didorong agar tidak hanya mengonsumsi konten digital tetapi juga semakin terdorong memanfaatkan media digital untuk belajar hal-hal berbau teknologi komunikasi dan informasi.
Narasumber lain dalam webinar itu, dosen Sosiologi UGM Yogyakarta Mustaghfiroh Rahayu mengungkapkan, keluarga ibarat madrasah pertama bagi anak sehingga sudah selayaknya orangtua memberikan kecakapan digital pertama pada anak.
“Dengan terbiasa menjelajah internet secara masif dan kompulsif, anak akan terbiasa pula mencari informasi lewat video maupun internet meskipun tidak membutuhkannya,” kata Rahayu.
Rahayu mengatakan, orangtua pun wajib mewanti-wanti agar anaknya tak sampai kecanduan media sosial jika sudah telanjur mengenalnya. “Kecanduan digital ini lebih berisiko dialami anak perempuan yang seringkali intens berinteraksi di internet, dan adanya kebutuhan anak perempuan ini yang memiliki kebutuhan diperhatikan, mendapat pujian dari foto dan video yang diunggah,” kata Rahayu.
Webinar yang dimoderatori Nabila Nadjib ini juga menghadirkan narasumber lain, yakni CEO Sempulur Craft Imam Wicaksono dan praktisi IT Tommy Destryanto, serta Ario Lyla selaku key opinion leader. (*)