Era transformasi digital menghadirkan budaya baru yang mengubah pola hidup ke arah digital. Oleh karenanya, masyarakat digital harus memiliki keterampilan digital agar dapat beradaptasi dan menguasai fasilitas digital yang tersedia. Hal ini dibahas di ruang diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (18/8/2021).
Dalam mengasah keterampilan digital itu, pemerintah Indonesia menyosialisasikan program nasional literasi digital. Kompetensi literasi digital itu meliputi digital ethics, digital skill, digital safety, dan digital culture. Program ini sekaligus menjadi upaya pemerintah dalam mendukung percepatan transformasi digital.
Kegiatan pagi ini dipandu oleh Dimas Satria (penyiar radio) dan menghadirkan empat pemateri: Muhamat Taufik Saputra (Kaizen Room), Novy Widyaningrum (researcher di UGM), Ari Ujianto (pegiat advokasi sosial), dan Adhi Wibowo (praktisi pendidikan). Juga hadir sebagai key opinion leader adalah Suci Patia, seorang penulis.
Ari Ujianto dalam diskusi menyampaikan, kondisi pandemi Covid-19 memaksa masyarakat untuk segera belajar menguasai teknologi dan literasi digital. Hampir semua hal saat ini dilakukan dari rumah dan dikerjakan dengan memanfaatkan internet serta media digital, baik itu untuk belajar, bekerja, hingga kegiatan ekonomi. Sehingga, mau tidak mau, masyarakat harus belajar secara cepat dan giat untuk mengenali budaya digital saat ini.
Ari menyebutkan, untuk memasuki dunia yang semakin cepat berubah diperlukan kemampuan dasar keterampilan digital. Yaitu kemampuan menggunakan perangkat digital dan perangkat lunak, kemampuan memahami mesin telusur dalam mencari informasi dan kata kuncinya, kemampuan memanfaatkan aplikasi komunikasi dan media sosial, kemampuan memahami dompet digital, lokapasar, dan transaksi digital. Pada kesempatan ini ia fokus pada budaya transaksi digital, yang secara realitas semakin meningkat sejak pandemi Covid-19.
“Di Indonesia pemain dompet digital yang dominan adalah Gopay, OVO, Shopeepay, dan LinkAja. Menggunakan dompet digital di era ini terhitung lebih praktis karena tidak perlu membawa uang fisik dalam jumlah banyak. Menghindari aksi kejahatan, terlebih dompet digital dilengkapi dengan fitur keamanan ganda. Namun saat ini belum semua toko atau yang menerima transaksi menggunakan dompet digital karena terbatasnya merchant. Selain itu dompet digital memerlukan jaringan internet yang stabil untuk bisa digunakan,” jelas Ari kepada 700-an peserta diskusi.
Di era digital, juga hadir e-money yang kegunaannya hampir seperti dompet digital. Bedanya, e-money dibatasi limit top up, tidak memiliki fitur keamanan, sehingga dapat dimanfaatkan semua orang jika terjadi kehilangan. Meski demikian e-money banyak dimanfaatkan untuk bayar tol atau transportasi publik.
Dalam kaitannya dengan transaksi online, warga digital perlu memahami platform-platform yang dapat digunakan. Ada online shop yang memanfaatkan media sosial untuk menjual dan promosi produk. Lokapasar, seperti Tokopedia dan Shopee yang merupakan pihak ketiga dari merchant yang bekerjasama.
“Tapi yang menjadi catatan dalam jual beli online adalah harus membudayakan cinta produk dalam negeri. Dengan begitu bisa membantu meningkatkan tenaga kerja, melindungi pasar dari produk impor, dan membangkitkan industri dalam mengatasi krisis ekonomi. Strateginya dengan membangun nasionalisme, berkonsumsi dan membangun rasionalisme. Juga dibarengi dengan peningkatan kualitas mutu produk dengan harga bersaing,” imbuhnya.
Sementara itu dari sisi keselamatan digital, Adhi Wibowo menambahkan, sebagai pengguna internet harus sadar dengan adanya jejak digital pada setiap aktivitas digital. Sebab, jejak digital yang ditinggalkan itu dapat dicari, dicuri, dimanfaatkan dan disebarluaskan oleh orang lain.
Jejak digital bisa menjadi bom waktu karena dapat dimanfaatkan pihak tertentu yang menargetkan pengguna internet. Terlebih jika jejak digital yang dimiliki itu adalah jejak yang buruk, dampaknya bisa merugikan diri sendiri.
“Namun kita bisa menjaga jejak digital yang positif dengan menjadi pengguna internet yang cerdas, mengelolanya dengan mengunggah dan membagikan hal yang baik. Waspada dengan informasi yang diterima, sebab tidak semua informasi yang tersedia itu benar, harus pandai mengenali sumber berita apakah itu hoaks atau bukan. Berhati-hati ketika informasi yang diterima mengandung provokasi, gunakan Google Check Fact atau layanan aduan konten untuk menyaring informasi,” jelasnya.
Selain itu, pengguna internet harus memiliki keamanan yang kuat dalam menjaga identitas dan data pribadi. Membuat password yang beda di setiap akun dan memanfaatkan fitur pengamanan ganda.
“Bijak bermedia digital dengan tidak mudah terpancing dengan hal-hal negatif seperti hoaks, perundungan siber dan kegiatan yang sifatnya kriminal. Jika terlibat, konsekuensinya adalah berurusan dengan hukum. Jika ragu dengan suatu informasi, jangan ragu bertanya kepada yang lebih paham. Dengan demikian bisa menjaga jejak digital relatif bersih,” lanjutnya.
Menjaga jejak digital cukup penting, karena bisa mempengaruhi kehidupan nyata. Para penyedia kerja misalnya, bukan tidak mungkin menyaring para calon pekerjanya dari jejak digital yang telah dilakukan dalam bermedia sosial. (*)