Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) kembali menyapa masyarakat Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, dalam webinar literasi digital, Kamis (22/7/2021). Kali ini mengusung tema diskusi “Membangun Toleransi Beragama melalui Media Sosial”.
Program literasi digital sendiri merupakan upaya pemerintah melakukan percepatan transformasi digital, sekaligus menciptakan masyarakat yang cakap digital. Literasi digital yang dirumuskan mencakup empat pilar, yakni digital ethics, digital culture, digital skill, dan digital safety.
Pada diskusi hari ini, Thommy Rumahorbo (entertainer) memandu jalannya acara dengan sejumlah narasumber: Septa Dinata (researcher Paramadina Public Policy), Iwan Gunawan (praktisi community development), Handono (kepala MAN Salatiga), Khoironi Hadi (kepala MAN Temanggung), juga key opinion leader Nadya Indry (top 10 Putri Pariwisata Indonesia 2019).
Pada sisi keamanan digital, Septa Dinata menyoroti banjir informasi digital yang mempengaruhi masa depan toleransi beragama. Teknologi membuat berbagai jenis informasi meluap, sehingga masyarakat sulit mengenali dan membedakan informasi yang validitasnya terjamin.
Sedangkan bidang keagamaan selalu menjadi lahan basah yang rentan hoaks, sebab bersinggungan dengan keyakinan. Hal ini membuat orang mudah tersulut provokasi jika keyakinan beragama diperseterukan. Oleh sebab itu, dengan banyaknya informasi yang meluap, pengguna platform digital diharapkan dapat berpikiran terbuka. Tidak terjerumus pada disinformasi dan misinformasi yang rentan memperparah konflik.
“Agama dan keyakinan menjadi lahan basah untuk diserang. Karena itu, agar bisa aman dari hoaks, penting sekali untuk mengecek sumber informasi, cek domain website. Kemudian komparasikan informasi dengan mencari informasi serupa menggunakan kata kunci yang mirip. Jika tidak ditemukan kesamaan dengan media lain, maka informasi tersebut berkemungkinan hoaks,” jelas Septa kepada 180-an peserta webinar.
Selain itu, jangan hanya berhenti pada headline berita, usahakan untuk membaca isinya secara keseluruhan. Cari bukti yang diutarakan apakah valid, kutipan yang digunakan apakah benar. Lalu tidak hanya langsung percaya pada gambar karena tidak selalu merepresentasikan fakta, terlebih dengan adanya teknologi manipulasi foto sangat mudah.
“Asah terus common sense saat menerima informasi. Cek juga tata bahasa yang digunakan. Serta untuk lebih pastinya, gunakan fact checking melalui google search atau manfaatkan kanal hoaks yang kini juga disediakan oleh media-media,” imbuh Septa.
Dari sudut pandang berbeda, Iwan Gunawan menambahkan, penggunaan media sosial bukan cuma soal keterampilan memproduksi atau menyebarkan konten positif. Tetapi bagaimana seorang pengguna memiliki keyakinan bahwa informasi yang diterima itu benar. Sebab tak jarang penilaian sebuah informasi itu tergantung bagaimana emosi penggunanya saat itu.
“Konten adalah pesan-pesan yang disampaikan, itu kita tangkap seperti apa. Sebab penilaian konten itu positif bersifat subjektif. Ada kecenderungan pembenaran tergantung emosi saat itu. Sehingga kesadaran penting dalam menilai sebuah informasi,” jelas Iwan.
Itu sebabnya, akun media sosial hendaknya dianggap sebagai sebuah aset yang harus dirawat, dikuasai dan dikendalikan oleh pemiliknya. Medsos merupakan perwujudan transformasi masa lalu yang menerima koreksi bahwa aset ini dapat berguna untuk orang lain. Media sosial juga digunakan sebagai media mengenalkan ide yang berbasis pada nilai.
“Sebagai aset, media sosial sekaligus menjadi sarana personal branding, media berbagi yang merepresentasikan penggunanya. Sehingga ia penting dirawat nama baiknya,” imbuh Iwan. Akun media sosial bukan menjadi alat untuk survival, ia harusnya menjadi hal yang adaptif dan menjadi bagian untuk berkreasi. (*)