Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyelenggarakan webinar literasi digital dengan tema ”Berbahasa yang Benar dan Beretika di Ruang Digital” untuk masyarakat Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Jumat (20/8/2021). Kegiatan ini merupakan bagian dari gerekan nasional literasi digital yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk mendukung percepatan transformasi digital.
Diskusi virtual yang dipandu oleh entertainer Zacky Ahmad ini menghadirkan empat narasumber: Akhmad Ramdhan (dosen UNS Surakarta), Iwan Gunawan (praktisi community development), Waryani Fajar Riyanto (dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), dan Suwaibatul Aslamiyah (Kasi Pendidikan Madrasah Kemenag Kebumen). Masing-masing pemateri menyampaikan tema diskusi dengan sudut pandang empat pilar literasi digital yang meliputi: digital culture, digital ethics, digital skill, dan digital safety. Selain para pemateri, diskusi juga diisi oleh key opinion leader Miss Eco International RU 2018 Astira Vern.
Dalam perspektif etika digital, Suwaibatul Aslamiyah menjelaskan, media digital telah memberikan ruang tanpa batas yang mempertemukan penggunanya dari berbagai wilayah dan latar belakang kebudayaan. Sehingga, untuk menjaga keharmonisan di dalamnya, diperlukan panduan etis. Singkatnya, ada etika dan juga etiket yang harus dipatuhi oleh setiap pengguna.
Etika sebagai sistem moral yang pegangan dalam mengatur tingkah laku pengguna. Sedangkan etiket adalah tata cara individu berinteraksi dengan orang lain atau dalam bermasyarakat. Etiket berlaku jika individu berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang lain, sedangkan etika berlaku meskipun individu itu sendirian.
”Etika dalam berinternet adalah tidak menggunakan huruf kapital secara berlebihan, baik saat komunikasi personal maupun di ruang publik. Gunakan bahasa dan tata bahasa sesuai dengan kaidah bahasa yang berlaku. Jika mengutip tulisan atau konten orang lain harus mencantumkan sumber. Dalam berkirim surel, perlakukan e-mail sebagai pesan pribadi, menggunakan format plain text dan minta izin ketika akan mengirim file berukuran besar,” jelasnya kepada 200-an peserta webinar.
Sedangkan netiketnya dapat disimpulkan, dalam berkomunikasi harus menggunakan bahasa yang sopan, menghargai hak cipta, tidak menggunakan kata yang jorok dan vulgar, menghargai privasi orang lain. Dan, dalam berkirim e-mail hendaknya memberikan subjek, tidak mengirim spam e-mail.
”Kita semua dalam berinternet harus memiliki kesadaran bahwa pengguna lainnya juga manusia. Maka ikuti aturan seperti ketika di dunia nyata. Juga, sadar pada setiap aktivitas digital yang dilakukan. Selalu menyebarkan nilai kebajikan, saring sebelum sharing ke orang lain. Harus jujur dalam menyampaikan informasi, dan bertanggung jawab setiap konsekuensi yang dilakukan,” tutupnya.
Sementara itu, Iwan Gunawan menjelaskan dalam konteks budaya digital, bahwa selain etika, bahasa menjadi unsur penting ketika berinteraksi, baik di ruang internet maupun di dunia nyata. Berbudaya digital, menurutnya, butuh kesadaran dari setiap pengguna internet. Sebab, secanggih apa pun teknologi, pemanfaatan dan penggunaannya tergantung pada kesadaran penggunanya.
Media sosial menjadi media untuk berekspresi dan dampak kebebasan berekpresi itu tergantung bagaimana pengguna media sosial menumbuhkan kesadarannya. Sebab, tak bisa disangkal, ekspresi di ruang digital didorong oleh berbagai emosi yang dirasakan oleh individu.
”Kita perlu mencermati diri sendiri, karena kita sering terjebak pada keadaan lupa diri ketika emosi tertentu menyelimuti diri kita. Ada emosi posisionalitas yang mencerminkan kecemasan, ketamakan, kebencian, ataupun penghinaan. Apa yang kita rasakan itu mencerminkan aksi, sehingga menimbulkan reaksi. Karena itu, sebelum menerima sesuatu atau melakukan sesuatu di ruang digital harus direnungkan terlebih dahulu,” ujar Iwan.
Ada emosi dualitas dan nondualitas yang mempengaruhi setiap aksi. Emosi dualitas menegaskan posisi saya dan orang lain untuk saling mengoreksi, juga netralitas yang memberikan motivasi dan menumbuhkan kepercayaan. Juga ada willingness yang memberi inspirasi serta optimisme, juga acceptance dalam mengasihi dan memaafkan. Selain itu ada alasan yang mengandung nalar dan pemahaman.
”Sedangkan emosi nondualitas tidak lagi berpijak pada fakta data dan informasi, tetapi emosi yang bekerja pada kehendak baik diri sendiri. Keinginan untuk mengungkapkan rasa cinta pada kehidupan dan mencerminkan kesatuan antara diri dengan lingkungan, sehingga membentuk bahasa yang lebih kreatif. Dalam arti lain, penggunaan bahasa itu harus punya efek ketenteraman batin saat mengekspresikannya,” ujar Iwan.
Iwan Gunawan lantas mengajak agar dalam bermedia sosial saling mengoreksi diri sebagai pengguna teknologi, sehingga bisa memberikan dampak positif dalam satu keutuhan budaya bangsa. (*)