Kebebasan berekspresi adalah hak setiap orang untuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi dan gagasan dalam bentuk apapun, dengan cara apapun. Ini termasuk ekspresi lisan, tercetak maupun melalui materi audiovisual, serta ekspresi budaya, artistik maupun politik.
Pendapat tersebut disampaikan staf pengajar Fisip Universitas Diponegoro Semarang Augustin Rina Herawati saat menjadi pembicara pada webinar literasi digital bertajuk ”Kebebasan Berekspresi di Dunia Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (21/9/2021).
Dalam diskusi secara virtual yang diikuti oleh sekira 300-an peserta itu, Augustin memahami dunia digital adalah gambaran umum yang berhubungan dengan modernisasi juga perangkat di dalamnya, wadah bagi manusia modern melakukan segala kegitan. Lalu, bagaimana berekspresi di dunia digital?
Menurut Augustin, kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia yang diiringi dengan akses media informasi dan komunikasi via internet dan sosial media membuat suatu perubahan komunikasi antar masyarakat. Banyaknya masyarakat Indonesia yang menjadi pengguna media sosial dan internet mengakibatkan adanya suatu pergeseran fungsi dan peran dari masyarakat internet atau netizen itu sendiri.
”Apalagi, dengan pengguna internet di Indonesia 175,5 juta jiwa atau dengan persentase 65,3 persen (2020), masyarakat pada era 4.0 ini mejadikan suatu pola komunikasi dan membentuk suatu era masyarakat informasi yang interaktif dan dinamis,” jelas Augustin.
Berekspresi di dunia digatal, lanjut Augustin, sesungguhnya sudah ada aturan hukum yang menjaminnya. Misalnya pada Pasal 19 ayat 2 Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, disebutkan:
“Setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi dan gagasan dalam bentuk apa pun, tanpa memandang batas negara, baik secara lisan, tertulis atau di media cetak, dalam bentuk karya seni, atau melalui media lain pilihannya.”
”Hukum kebebasan berekspresi juga dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945: Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Maupun Pasal 28F UUD 1945: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia” papar Augustin.
Augustin mengungkap dampak positif berekspresi di dunia digital yakni didapatkannya pengetahuan baru dan insight yang lebih luas karena mudahnya akses informasi. Kemudian juga menyalurkan aspirasi dengan mudah, sehingga ruang yang diberikan untuk berpendapat juga dapat membantu memberikan aspirasi terhadap berbagai permasalahan politik maupun meningkatkan ekonomi.
”Meski begitu, kebebasan berekspresi juga memiliki dampak buruk, misalnya munculnya postingan berbentuk meme yang bertujuan untuk menjelek-jelekkan orang atau kelompok lain, saling hujat, memaki, maupun mengolok-olok dengan kata-kata tak pantas hingga pencemaran nama baik,” sebut Augustin.
Di akhir paparannya, Augustin juga memberikan tips cara bijak berekspresi di dunia digital, di antaranya: jadikan diri kita sebagai orang yang positif dan bijak dalam menggunakan media sosial; jangan mudah terprovokasi oleh buzzer; pahami platform media sosial yang dipakai; mengerti sisi hukum; dan hati-hati dengan emosi.
Berikutnya, Pemimpin redaksi media online Swarakampus.com Krisno Wibowo melihat kebebasan berekspresi dimulai dari era kekuasaan orde baru. Menurutnya, era orde baru ditandai dengan kebebasan menjadi monopoli oleh rezim yang berkuasa. Banyak media yang kritis terhadap pemerintah kemudian ditutup. Kemudian era reformasi ditandai dengan keterbukaan informasi.
”Kini kita sedang berada pada era kekinian, dimana digitalisasi dan konvergensi platform media menjadi cirinya. Jurnalisme berada di persimpangan: citizen journalism, clickbait journalism, jurnalisme speed versus jurnalisme investigatif,” tegas Krisno.
Apapun media yang kita gunakan, menurut Krisno, penting untuk tetap menjaga etika di ruang digital. Caranya: hindari hoaks, pornografi dan kekerasan; hindari ujaran kebencian, fitnah dan adu domba; hindari prasangka; perhatikan akurasi dan sumber informasi.
Dipandu moderator presenter Amel Sannie, webinar kali ini juga menghadirkan Maryanto (Aktivis Lintas Iman), Akhmad Ramdhon (Pengajar Sosiologi Fisip UNS Surakarta), dan musisi Sony Ismail selaku key opinion leader. (*)