Dari perspektif cakap bermedia digital (digital skills), pengajar komunikasi strategis Universitas Multimedia Nusantara Fakhriy Dinansyah berpendapat, ihwal alasan diadakannya literasi digital karena masyarakat tidak cukup hanya mampu mengoperasikan berbagai perangkat TIK dalam kehidupan sehari-hari dan mengenal perangkat digital software dan hardware saja, tetapi juga harus bisa mengoptimalkan penggunaannya untuk sebesar-besar manfaat bagi dirinya dan orang lain.
”Seorang pengguna yang memiliki kecakapan literasi digital yang bagus tidak hanya mampu mengoperasikan alat, melainkan juga mampu bermedia digital dengan penuh tanggung jawab,” kata Fakhriy Dinansyah saat menjadi narasumber pada webinar literasi digital bertema ”Memahami Pentingnya Menjaga Keamanan Digital di Ruang Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Senin (13/9/2021).
Dalam webinar yang dipandu oleh moderator Glenys Ocatnia itu, Co-Founder perusahaan IT Localin itu bicara bersama narasumber lainnya seperti: Mujiantok (founder Atsoft Technology), Iqbal Aji Daryono (penulis dan kolumnis), Imam Wicaksono (CEO Sempulur Craft), dan foodblogger Arief Budiman selaku key opinion leader.
Menurut Fakhriy, selayaknya dunia fisik di sekitar kita, ada beberapa hal yang perlu kita ketahui dan pahami agar tidak tersesat dalam dunia digital. Media digital, misalnya, memungkinkan munculnya interaksi yang menimbulkan diskusi, tidak seperti media konvensional yang lebih searah. Sayangnya, media digital memiliki konten negatif yang membarengi perkembangan dunia digital menyasar para pengguna internet, termasuk di Indonesia.
Fakhriy mengatakan, konten negatif atau konten ilegal di dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang telah diubah melalui UU Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE) dijelaskan sebagai informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, pemerasan dan/atau pengancaman, penyebaran berita bohong dan menyesatkan, sehingga mengakibatkan kerugian pengguna.
”Selain itu, konten negatif juga diartikan sebagai substansi yang mengarah pada penyebaran kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA),” imbuh Fakhriy.
Dalam paparannya, Fakhriy juga mengingatkan adanya bahaya di ruang digital seperti penipuan dan kriminalitas lain. Di antaranya: lintah darat berkedok pinjol, money game dan arisan online, tele-hipnotis, predator anak di media sosial, tipu muslihat terkait password dan OTP.
Pesan transfer ke nomor rekening tertentu, doxing, revenge porn, suspicious e-mail, phising, malware.
”Belum lagi bahaya radikalisme, terorisme, dan perekrutannya melalui media sosial, website masking, impersonate account, dan masih banyak lagi,” tegas Fakhriy.
Agar terlindungi dari kejahatan dan bahaya ruang digital, Fakhriy menyarankan pengguna digital untuk menjaga data dan identitas pribadi seperti password, one time password (OTP), tak sembarangan memberi informasi pribadi terkait nama ibu kandung maupun informasi pribadi lainnya.
”Hindari penyebab terjadinya bahaya digital seperti memberitahu password dan OTP kepada orang lain, membuka situs-situs pornografi dan judi online, sembarang mengklik iklan atau link yang terlihat menarik padahal tidak kita butuhkan, mengaktifkan VPN terus menerus, mengunduh aplikasi di luar toko resmi (Play Store, App Store, App Gallery), sembarang memberikan akses kepada aplikasi yang diunduh, serta literasi digital yang rendah,” sebut Fakhriy.
Berikutnya, founder Atsoft Technology Mujiantok mengupas tema diskusi dari perspektif keamanan digital (digital safety). Keamanan digital menurutnya adalah konsep penggunaan internet atau online secara bijak dan sesuai dengan etika atau norma yang berlaku, tanpa membahayakan keamanan diri sendiri ataupun orang lain.
Ancaman digital, lanjut Antok, bisa berupa pencurian data atau identitas digital yang meliputi identitas yang terlihat seperti: nama akun, foto profil pengguna, deskripsi pengguna, dan identitas lain yang tercantum dalam akun. Selanjutnya, identitas yang tidak kelihatan seperti PIN, password, sandi, two factor authentication, maupun OTP.
”Adapun ancaman digital berupa pencurian data yang bersifat pribadi umum, misalnya nama, jenis kelamin, kewarnegaraan, agama, tanggal lahir, pekerjaan, alamat rumah, e-mail, nomor telepon, dan lainnya. Sedangkan data pribadi khusus berupa data kesehatan, biometrik genetika, keuangan, ras atau etnis, preferensi seksual, pandangan politik, data keluarga, dan lainnya,” sebut Antok.
Di ruang digital, lanjut Antok, kita juga mesti waspada tehadap banyaknya konten negatif seperti ujaran kebencian, cyber-bullying, hoaks, perjudian online, maupun narkotika lewat mata (narkolema). ”Yang terakhir bisa membuat orang yang melihatnya jadi kecanduan,” pungkas Antok. (*)