Dosen Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Alif Lukmanul Hakim menyebut tantangan berat menerapkan etika dalam bermedia digital saat ini patut menjadi perhatian berbagai pihak.
“Tantangan yang semakin kentara itu yakni semakin kaburnya wawasan kebangsaan, menipisnya kesopanan dan kesantunan dan menghilangnya budaya Indonesia serta degradasi nilai agama,” kata Alif saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema “Ruang Diskusi Publik Melalui Platform Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Magelang Jawa Tengah, Jumat (1/10/2021).
Dalam webinar yang diikuti 300-an peserta itu, Alif membeberkan media digital telah berubah menjadi panggung utama budaya asing. Di mana dominasi nilai dan budaya asing berwujud dalam berbagai penyalahgunaan kebebasan berekspresi dan berkurangnya toleransi atas perbedaan serta menghilangnya batas-batas privasi.
“Pelanggaran hak cipta dan karya intelektual juga marak seiring wajah media digital yang menjadi sarana provokasi,” ujar dia.
Dengan kondisi itu, ujar Alif, maka perlu upaya mendayagunakan internet agar menjadi ruang publik yang etis. Berbagai cara bisa dilakukan seperti konsisten meng-upload konten yang baik dan bukan hoaks, bukan hatespeech, membangun komunikasi yang toleran dengan dilandasi simpati dan bermartabat.
“Kembangkan jejaring di media digital secara positif dan sesuai nilai budaya serta agama. Gunakan media digital untuk memperkuat branding personal maupun kelompok tapi secara positif dan mengutamakan etika,” tegas Alif.
Alif menuturkan kunci pemberdayaan literasi media adalah melek huruf, melek informasi, melek peradaban dan melek teknologi. Generasi digital cenderung bersifat ingin memperoleh kebebasan berekspresi tanpa batas. Mereka tidak suka diatur dan dikekang dan ingin memegang kontrol. “Internet menawarkan kebebasan berekspresi ini, generasi digital pun cenderung lebih terbuka dan berpikir agresif,” kata dia.
Narasumber lain webinar itu, Pemred Swarakampus.com Krisno Wibowo menuturkan esensi diskusi baik dunia nyata dan digital sama. Yakni pertukaran gagasan, pikiran, pendapat, antara dua orang atau lebih yang bertujuan untuk mencari jalan keluar atas persoalan yang dibicarakan.
“Diskusi publik di ruang publik seperti ruang digital seharusnya menjadi keran keterbukaan menemukan euforia era digital, dengan wajah demokrasi partisipatif meski tanpa moderator namun perlu kedewasaan dalam beradu argumen,” kata Krisno.
Krisno menyarankan konten diskusi di ruang digital hendaknya menghindari debat kusir. Misalnya terkait kebijakan publik, isu-isu yang berdampak pada perubahan, dimana kritik berdasarkan argumentasi berbasis pada data dan fakta.
Webinar ini juga menghadirkan narasumber lain seperti Aktivis LP3M UNU Yogyakarta Suharti, pengajar Universitas Gunadarma Aidil Wicaksono, serta dimoderatori Zacky Ahmad juga Nindy Gita selaku key opinion leader. (*)