Kepala Kantor Kemenag Banyumas Akhsin Aedi menuturkan, semangat inklusivitas menjadi hal tak terelakkan dalam ciri masyarakat Indonesia yang memiliki ragam perbedaan. Inklusivitas atau semangat keterbukaan satu dan lainnya itu, kata Akhsin, akan menjadi modal memupuk kerukunan di tengah kemajemukan etnik, agama dan kepercayaan. Juga warna kulit, postur tubuh, status sosial-ekonomi, latar belakang pendidikan, profesi dan jabatan, budaya seperti bahasa, tradisi, adat istiadat, karakteristik bangsa Indonesia dari Sabang hingga Merauke.
“Perlu dipahami, di tengah kemajuan digital saat ini, kita butuh mewujudkan tatanan masyarakat inklusi yang punya pandangan terbuka, universal, ramah dan setiap anggotanya dapat mengakui, menghargai segala perbedaan,” kata Akhsin saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema ”Masyarakat Inklusi dan Perundungan Anak” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin (23/8/2021)
Akhsin Aedi menuturkan, dalam ruang digital interaksi sosial antar pribadi- individu pengguna digital tak dilakukan secara langsung, sehingga kadangkala ada ekspresi dan emosional yang tak tampak. Oleh sebab itu, dengan berbekal semangat inklusi saat berinteraksi di ruang digital, jangan sampai terjadi gesekan-gesekan yang menjurus SARA, yang menyinggung satu sama lain berdasar identitas primordial atau yang melekatinya.
”Cara mewujudkan masyarakat inklusi di dunia digital ini dengan menyadari bersama bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing,” kata Akhsin. Selain itu, lanjutnya, mengutamakan sikap toleransi menjadi hal utama untuk membentuk inklusivitas satu dengan lainnya tanpa mempersoalkan perbedaan masing-masing sebagai kekurangan.
“Jangan pernah menyombongkan diri atas latar belakang kita. Di ruang digital atau dunia nyata, kedudukan kita sama sebagai warga negara dan memiliki hak masing-masing yang harus dihormati,” tegas Akhsin dalam webinar dengan 204 peserta itu.
Selain itu, Akhsin menyebut ihwal perlunya mengembangkan komunikasi yang berimbang dengan berbagai pihak tanpa kecuali dan tidak memandang latar belakang, suku, agama, budaya, etnis ataupun ras dan golongannya. “Jadi, inklusi ini terwujud manakala lingkungan sosial dan ruang digital itu berhasil meniadakan hambatan, karena setiap orang bisa merangkul setiap perbedaan,” tegas Akhsin.
Ketika ruang dunia nyata dan digital berhasil mewujudkan semangat inklusi inilah, masih menurut Akhsin, anak-anak mendapatkan ruang yang aman dari kejahatan, khususnya perundungan.
Menurut Akhsin, perundungan dunia maya atau dalam bahasa lain disebut cyberbullying menjadi perilaku tak menyenangkan, baik secara verbal, fisik maupun sosial, yang bisa membuat seorang anak merasa malu, tertekan, sakit hati, dan depresi.
“Melalui pemahaman inklusi perbedaan di masyarakat tidak akan menjadi halangan untuk anak belajar, bermain bersama, bahkan dapat menjadi sumber kekayaan untuk membangun pengetahuan dan pemahaman baru,” jelas Akhsin.
Sementara itu, narasumber lain dalam webinar, pengamat sejarah dan budaya Yunadi Ramlan mengatakan, dengan kemajuan teknologi saat ini anak perlu mendapat perhatian dalam interaksinya di ruang digital. Namun, ujar Yunadi, di sisi lain perlu dukungan lebih bagi perkembangan anak, khususnya dalam pengembangan minat dan bakatnya, sehingga menjauhi hal-hal negatif seperti cyberbullying.
“Melihat kemajuan teknologi digital saat ini, ke depan kita mungkin perlu sebuah aplikasi pemantauan performa non-akademik sebagai alat bantu pengembangan minat dan bakat siswa dalam prestasi sekolah,” tutur Yunadi.
Ia mencontohkan aplikasi Opta dan Wyscout, yang notabene awalnya aplikasi pemantau kinerja olahragawan, kini kian berkembang fungsinya sebagai bagian dari pengembangan bisnis olahraga.
Menurut Yunadi, pandemi Covid-19 telah memberikan dampak untuk perkembangan anak. Perubahan model belajar yang lebih banyak menggunakan gadget telah membuat anak-anak rentan terhadap perundungan di dunia maya.
Webinar yang dimoderatori Rara Tanjung ini juga menghadirkan dua narasumber lain, yakni: pakar IT Eka Y. Saputra dan pengawas Madrasah Kemenag Kota Semarang Amhal Kaefahmi, serta Adit Suryo selaku key opinion leader. (*)