Penyebaran berita bohong alias hoaks bukan satu-satunya dampak negatif media sosial yang menghantui ruang digital tanah air. ”Saat berita hoaks masih terus merajalela, kita juga masih dihadapkan dengan dampak negatif media sosial yang semakin menumpuk,” ujar anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah Padmasari Mestikajati.
Padma menyampaikan hal itu saat tampil menjadi pembicara dalam webinar literasi digital bertema “Menjadi Masyarakat Digital yang Berbudaya Indonesia” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Rabu (15/9/2021).
Dalam webinar yang diikuti 200-an peserta itu, Padma membeberkan dampak negatif media sosial juga membuat seseorang menjadi semakin malas berkomunikasi langsung di dunia nyata. Bahkan, tanpa kenal pun, antar-pengguna media sosial sudah terbiasa memaki dan berkata kasar.
”Kata-kata kasar yang digunakan untuk memaki, menghujat, merendahkan di media sosial biasanya terkait dengan binatang, terkait kebodohan, terkait ketidakmampuan seseorang, terkait kelakuan,” kata Padma.
Selain dampak negatif media sosial itu, intensitas tak terukur penggunaan media sosial, lanjut Padma, juga berpotensi menurunkan kemampuan literasi sekaligus meningkatkan kecemburuan sosial, kecanduan jejaring sosial dan meningkatnya kejahatan internet atau cyber crime.
”Di tengah kepungan dampak negatif itulah, perlu sekali membangun terus menerus tatanan masyarakat digital yang berbudaya Indonesia, agar melandasi setiap aktivitas di ruang digital berdasarkan nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika,” ujar Padma.
Padma menyebutkan, nilai-nilai dalam sila Pancasila dapat ditebarkan ke berbagai aktivitas ruang digital. Dari sila 1 misalnya, aktivitas digital dapat diarahkan untuk gerakan-gerakan yang mendukung toleransi keberagaman, menghargai agama, dan kepercayaan orang lain.
”Lalu dari sila 2 Pancasila, aktivitas digital dapat diarahkan untuk menghindari konten yang berisi penghinaan, perendahan, pengucilan, perundungan terhadap kelompok tertentu,” tegas Padma.
Sedangkan dari sila ke-3 Pancasila, aktivitas digital dapat diarahkan untuk mengutamakan Indonesia di atas kepentingan pribadi dan golongan, dengan menunjukkan cara-cara gotong royong. Adapun dari sila ke-4, aktivitas digital dapat diarahkan untuk memprioritaskan kampanye tentang cara demokrasi digital yang menjamin kebebasan berekspresi.
”Sehingga, setiap orang boleh mengemukakan pendapat dan mengkritik. Jika ada perbedaan pandangan, diharapkan membuka ruang untuk diskusi secara sehat,” cetus Padma.
Lalu dari sila 5 Pancasila, aktivitas digital dapat diarahkan untuk menjamin rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. ”Negara telah membuat regulasi dan kebijakan tentang ranah digital, yakni UU ITE serta UU Kebebasan Memperoleh Informasi yang harus ditaati seluruh masyarakat,” ujarnya.
Narasumber lain dalam webinar, dosen Universitas Borneo M. Thobroni mengungkapkan, pengguna digital perlu memahami berbagai jerat hukum yang sewaktu-waktu bisa mengancam mereka ketika melakukan aktivitas negatif di ruang digital. ”Salah satunya soal konten bermuatan kekerasan. Mengirimkan informasi berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi termasuk dalam pelanggaran Pasal 29 UU ITE,” kata Thobroni.
Selain itu, lanjut Thobroni, dengan cara apa pun melakukan akses ilegal juga termasuk dalam pelanggaran Pasal 30 UU ITE, sedangkan intersepsi atau penyadapan ilegal terhadap informasi atau dokumen elektronik dan sistem elektronik termasuk pelanggaran Pasal 31 UU 19/2016.
Dipandu oleh moderator Ayu Perwari, webinar ini juga menghadirkan narasumber dosen Magister Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur Jakarta Denik Iswandani Witarti, dosen Universitas Serang Raya Ahmad Sururi, serta Sonny Ismail selaku key opinion leader. (*)