Awal pandemi Covid-19 yang merebak di Jawa sekitar Maret 2020 silam, beredar kabar menggegerkan media sosial dengan mencatut nama Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Publik pengguna digital dikejutkan dengan gambar screenshot atau tangkapan layar yang mirip seperti tampilan judul berita pada media online yang menampilkan foto Ganjar Pranowo yang seolah menyampaikan pernyataan “Corona Mewabah, Gubernur Ganjar Liburkan Sales dan Karyawan Se-Jateng 2 Minggu”.
Padahal, berita aslinya berjudul ‘Corona Mewabah, Gubernur Ganjar Liburkan Sekolah se-Jateng”. Contoh hoaks itu diungkapkan dosen STAI Al Husain Dahlia saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema “Menguatkan Kebangsaan Antisipasi Radikalisme Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Selasa (21/9/2021).
“Berita hoaks semacam itu termasuk dalam bagian gangguan informasi, yang terdiri dari dis-informasi, mis-informasi, dan mal-informasi,” ujar Dahlian dalam webinar yang diikuti ratusan peserta itu.
Dahlia menuturkan ciri gangguan informasi baik mis-informasi/dis-informasi itu umumnya bisa dikenali secara kasat mata. Biasanya memakai judul atau kalimat yang heboh atau berlebihan juga provokatif serta diakhiri dengan tanda seru. “Lalu huruf kapital digunakan secara serampangan dan kadang menggunakan warna mencolok dan kualitas foto dan grafis biasanya buruk,” tegasnya.
Berita hoaks seringkali mencatut nama lembaga atau publik figur padahal isinya tidak masuk akal. “Dukungan buktinya palsu atau tidak dapat dilacak serta berita itu tidak muncul di media arus utama,” kata Dahlia.
Dahlia membeberkan cara praktis mengecek berita hoaks atau tidak, misalnya menggunakan fitur cek fakta yang disediakan Google. Selain itu, juga agar mengefektifkan pedoman saring sebelum sharing yakni dengan ilmu yang disingkat T.H.I.N.K (berpikir).
Jika dijabarkan T kependekan dari true, yang meminta pengguna berpikir apakah informasi atau konten yang ditemukan atau akan dibagi adalah benar adanya. Lalu H, yang merupakan kependekan dari helpfull, yang artinya apakah materi tersebut bermanfaat dan mungkin dapat menolong teman dan keluarga kita yang membacanya. Lalu I yang merupakan kependekan dari Ilegal, artinya apakah konten yang kita unggah memiliki hak cipta dan tak melanggar hukum. Lalu N kependekan dari necessary, yang artinya apakah perlu kita membagikan konten atau informasi itu. Dan terakhir K yang merupakan singkatan dari kind, apakah pendapat yang kita tulis akan menyakiti perasaan teman atau orang lain.
Narasumber lain praktisi pendidikan Andika Renda Pribadi mengungkap temuan survei Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada akhir 2020 yang menemukan sebanyak 85 persen generasi milenial rentan terpapar paham radikal perlu disikapi serius berbagai pihak tak hanya pemerintah tapi juga masyarakat luas.
“Kondisi itu menuntut kita perlu menguatkan literasi digital karena interaksi milenial sebagain besar di ruang digital termasuk dalam potensi keterpaparan paham radikalisme,” kata Andika.
Andika mengatakan perlunya memanfaatkan teknologi saat ini bukan untuk mengakses nilai-nilai yang merusak atau bertentangan dengan kebangsaan. Karena hakikat teknologi untuk memudahkan bukan menyulitkan, teknologi untuk mempertemukan bukan memisahkan dan teknologi untuk mendidik bukan mencekik.
“Hakikat teknologi untuk kebenaran bukan keonaran, teknologi untuk kebaikan bukan kerusuhan,” ujar Andika.
Tingginya potensi keterpaparan paham radikal generasi muda tak lain karena ada satu karakter digital society yang cenderung tidak menyukai aturan yang mengikat atau tidak suka diatur-atur dikarenakan tersedianya beberapa opsi tentang mengekspresikan diri khususnya melalui platform media sosial.
“Generasi saat ini terbiasa untuk belajar bukan instruksi melainkan dengan mencari, masyarakat digital lebih senang untuk mencari sendiri konten informasi yang diinginkan,” tegasnya.
Webinar ini juga menghadirkan narasumber Muhammad Achadi (Ceo Jaring Pasar Nusantara), Siska Sasmita (dosen Universitas Negeri Padang) serta dimoderatori Mafin Rizqi dan Kneyza Sastra Wijaya selaku key opinion leader. (*)