Banyak hal dapat dimanfaatkan saat menggunakan internet, salah satunya adalah untuk menambah ilmu keagamaan. Namun tidak semua hal bisa diambil, karena belajar agama tak cukup hanya dari internet. Itulah isu hangat yang dibahas dalam webinar literasi digital yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kota Semarang, Selasa (10/8/2021).
Kegiatan tersebut merupakan bagian dari Program Literasi Digital Nasional: Indonesia Makin Cakap Digital yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo pada 20 Mei 2021 lalu. Program ini diselenggarakan untuk memupuk kecakapan literasi digital masyarakat di tengah arus transformasi digital yang berkembang sangat cepat. Kecakapan literasi digital yang digagas pemerintah itu meliputi digital culture, digital skill, digital ethics, dan digital safety.
Bersama Eka Tura Johan sebagai moderator diskusi, empat narasumber diajak membagikan ilmu pengetahuannya. Mereka adalah Daru Wibowo (marketing consultant), Amhal Kaefahmi (pengawas madrasah Kemenag Kota Semarang), Mustolih (dosen UMNU Kebumen), dan Slamet Budiyono (kepala MAN 1 Surakarta). Selain itu diskusi ini juga menghadirkan jurnalis Adew Wahyu sebagai key opinion leader.
Slamet Budiyono menyampaikan, kaitannya dengan belajar agama, ada metamorfosis atau proses transformasi dalam mentransfer ilmu pengetahuan. Ia menyebutkan, pada masa Nabi Adam Allah menurunkan ilmu pengetahuan langsung. Sedangkan pada masa Nabi Muhammad ilmu diturunkan melalui perantara malaikat Jibril.
Lalu, periode setelahnya, ilmu itu disampaikan Nabi langsung kepada sahabat, dan selanjutnya melalui sahabat ilmu disampaikan kepada tabi’in dan seterusnya. Dari proses tersebut dapat ditarik kesimpulan, orang yang belajar agama memiliki kesinambungan dengan sanad dan matan yang terjaga.
Namun, saat ini tren belajar agama yang dilakukan oleh generasi milenial dan generasi di bawahnya cenderung memanfaatkan internet sebagai sumber rujukan informasi agama Islam. Hal ini dengan jumlah 50,89 persen penggunaan internet dan medsos untuk belajar agama, sedangkan 48,57 persen belajar melalui buku.
“Generasi muda yang berorientasi virtual cenderung mengakses internet untuk belajar agama, karena aksesnya yang mudah dan bisa dilakukan kapan dan di mana saja serta tidak terbatas sumber informasi. Namun perlu dipahami tidak semua konten di media sosial memiliki kredibilitas penuh dan sumber yang terpercaya. Itu sebabnya mereka rentan terhadap paparan informasi yang berupa propaganda atas nama agama, adu domba, intoleransi, radikalisme, dan eksklusivisme agama,” ujar Slamet kepada 200-an peserta diskusi.
Karena itu perlu kehati-hatian dalam mempelajari ilmu agama di dunia maya. Narasi sumber informasi perlu dipahami kompetensi dan kapabilitas penyampaian materinya, memiliki sifat terpuji, dan memiliki sifat moderat. “Perlu diketahui, materi keagamaan di internet bukanlah sumber rujukan utama. Masih diperlukan konfirmasi kepada pemuka agama sebagai sumber utama,” lanjutnya.
Selain itu, pengguna internet juga perlu tahu mana saja situs yang terpercaya atau kredibel. Waspada pendangkalan agama, kesalahpahaman, dan penipuan yang mengatasnamakan agama. Belajar langsung kepada guru di majelis lebih diutamakan, dan internet hanya sebagai tambahan pengetahuan.
Beberapa situs yang bisa menjadi sumber tambahan dalam mendalami ilmu agama di antaranya, NU Online, Islami.co, Alif.id, Bincangsyariah.com, dan lain sebagainya.
Tips bermedia dengan cerdas dan beretika adalah mampu memilih konten yang dibutuhkan bukan yang diinginkan, saring sebelum sharing, tabayyun, menjadi good influencer, mencerminkan budaya Indonesia yang ramah dan sopan. Menghindari hoaks, sara, ujaran kebencian, perundungan, tidak rasis, dan hal-hal negatif lainnya.
Sementara itu, Amhal Kaefahmi menambahkan, belajar agama di dunia maya perlu dibarengi dengan prinsip islam wasatiyah dan moderasi beragama. Yakni, menekankan pada komitmen kebangsaan yang meliputi Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945. Menghargai nilai-nilai lokal, anti kekerasan, dan menanamkan toleransi.
Selain itu, penguatan karakter individu dalam digitalisasi sangat diperlukan. Sebab, arus informasi yang datang dapat mempengaruhi pola pikir, sehingga diperlukan kemampuan untuk mencerna informasi. Dan kemampuan mencerna informasi yang positif itu dipengaruhi oleh pendidikan karakter.
“Budaya digital mengarah pada proses memilah dan memilih informasi, memverifikasi data atau informasi, saring sebelum sharing, dan di antara itu mengutamakan adab kesopanan serta memanfaatkan teknologi untuk mengembangkan kecerdasan pribadi dan kelompok,” ujar Amhal.
Ia juga menambahkan, budaya bermedia sosial sangat penting agar aktivitas di dalamnya lebih nyaman dan menyenangkan. Budaya di dunia maya harus sama dengan di dunia nyata, yakni dengan bijak dalam penggunaan kata, memakai bahasa yang baik dan positif, serta teliti dulu sebelum share.
“Saatnya kita mengembangkan kemampuan untuk memproduksi konten-konten kreatif, inovatif, moderasi, dan toleransi untuk memenuhi dunia digital. Serta meminimalisir konten intoleransi, radikalisme, dan hoaks,” pungkasnya. (*)