Komunikasi yang terjadi di dunia maya sejatinya sama dengan komunikasi yang biasa dilakukan di dunia nyata, yaitu melibatkan etika dan nilai sosial. Maka, berinteraksi di dalam sosial media pun perlu disertai kesadaran tanggung jawab sosial dan memegang prinsip etika.
“Orang bisa bicara semaunya dan bertindak semaunya di dunia maya. Berkomentar kasar, caci maki, menyudutkan bahkan menyinggung SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan). Spontanitas begitu saja tanpa pikir panjang,” ujar Dwi Yuliati Mulyaningsih, Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah IX Provinsi Jawa Tengah, saat menjadi narasumber webinar literasi digital yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Senin (4/10/2021).
Dia mengakui, bermedia digital saat ini rasanya seperti sangat bebas, tanpa sekat bahkan nyaris tanpa kontrol. Semua serba permisif. Padahal perilaku kurang sopan di dunia maya selain berisiko juga bisa menggeser etiket yang selama ini menjadi kesepakatan bersama.
Semestinya, bukan perilaku negatif yang menonjol dari aktivitas dunia digital tetapi bagaimana menciptakan suatu tatanan kehidupan yang produktif. Dengan begitu, kata dia, akan tercipta jenis-jenis profesi baru yang mampu. mendorong kreativitas dan produktivitas.
Bagaimana pun, masyarakat digital merupakan elemen yang di dalamnya terhubung melalui jaringan teknologi informasi dan komunikasi sehingga mempengaruhi pola interaksi.
“Interaksi masyarakat digital dilakukan secara daring melalui perangkat yang di dalamnya terdapat media komunikasi dan informasi berupa aplikasi, media sosial salah satunya,” jelasnya.
Terdapat banyak aplikasi yang membawa manfaat dan kemaslahatan, di antaranya telekomunikasi, transportasi, online shopping maupun media belajar. Lebih spesifik lagi wujudnya berupa Chatting, Zoom, Email, Telegram, Facebook, Twitter, Instagram, Gojek, Grab, Shopee, Tokopedia, Bukalapak, Lazada Ruang Guru, Rumah Belajar, Kelas Pintar, Youtube, Blog, Google Classroom.
“Di dunia digital kita juga mengenal etiket berinternet atau lebih dikenal dengan Netiket (Network Etiquette) yaitu tata krama dalam menggunakan internet,” kata Yuliati.
Ada pula literasi digital, yaitu kemampuan individu untuk mengakses, memahami, membuat, mengkomunikasikan, dan mengevaluasi informasi melalui teknologi digital.
Menurut dia, tatkala seseorang menggunakan internet di hadapannya ada dua pilihan, apakah menjadi produktif dan kreatif ataukah sebaliknya justru kontraproduktif. Kreatif berarti memiliki daya cipta produktif, berarti pula banyak mendatangkan hasil dan banyak menghasilkan sesuatu.
“Apabila kita menggunakan media digital apakah kita menjadi seorang yang kreatif dan produktif? Tergantung bagaimana kita menggunakannya,” terangnya.
Menjadi kreatif sebenarnya relatif mudah. Yuliati lantas memberikan kiat-kiatnya. Pertama, buat jadwal harian to-do-list, kegiatan apa saja yang harus dikerjakan hari itu. Selanjutnya, tentukan prioritas membagi waktu antara urusan kantor, sekolah dan rumah. Sebisa mungkin hindari membuka sosial media sewaktu bekerja atau belajar.
Kedua, ubah kebiasaan konsumtif menjadi produktif. Apabila sulit, setidaknya menjalani pola hidup yang seimbang dalam arti memahami batas-batas kemampuan diri.
Ketiga, hindari kecanduan digital. Caranya adalah menyalurkan hobi, pastikan ada family time serta terus belajar dan mengikuti pelatihan online ataupun webinar.
Menurut Yuliati, kecanduan media digital membentuk pribadi yang asyik dengan diri sendiri sehingga tidak peduli orang lain. Secara fisik kesehatan mata bisa terganggu, termasuk pola istirahat, makan dan ancaman gangguan pendengaran.
Secara psikis menjadi mudah marah, gelisah, panik dan anarkis serta kurang peka dengan sekitar. Puncaknya adalah merasa takut tertinggal atau fear of missing out alias fomo.
Zulfan Arif, Penerjemah & Content Writer, yang juga menjadi narasumber webinar bertema “Kecanduan Digital: No! Kreatif dan Produktif Yes!” kali ini mewanti-wanti bahwa ruang digital adalah realitas baru yang seharusnya tidak merubah seseorang menjadi berbeda dari realitas di dunia nyata.
Diakui, disrupsi teknologi digital yang berlangsung sangat pesat mempengaruhi tatanan perilaku masyarakat. Rendahnya literasi digital menyebabkan seseorang terdeindividualisasi, sehingga berani melakukan hal-hal negatif sebab merasa aman bersembunyi di balik layar gadget.
“Ruang digital seperti dua sisi mata uang, satu sisi memiliki berbagai macam manfaat untuk kreativitas dan produktivitas, sisi lainnya berpengaruh negatif, salah satunya kecanduan internet khususnya bagi anak dan remaja,” jelasnya.
Orang tua, keluarga dan guru perlu memberikan penjelasan dan perlindungan pada anak dan remaja terkait aktivitas maya mereka, jangan sampai mengarah negatif.
Dipandu moderator Fikri Hadil, webinar juga menghadirkan narasumber Zahid Asmara (Filmmaker & Art Enthusiast), Iqbal Aji Daryono (Penulis & Kolomnis), Ganjar Pranowo (Gubernur Provinsi Jawa Tengah) sebagai Keynote Speech dan Adew Wahyu (Jurnalis Content Creator) sebagai Key Opinion Leader. (*)