Banyak orang meneruskan informasi hoaks karena tidak terlalu memikirkan apakah itu benar atau salah. Banyak juga orang ketika ditanya dari mana berita atau informasi itu didapat, jawabnya ”kata medsos, si A, si B, dan seterusnya”. Intinya, selain tidak jelas siapa yang bicara, informasi tersebut juga berasal dari sumber yang tidak kredibel.
”Hoaks adalah berita bohong atau kabar palsu yang tidak memiliki sumber kredibel dan sengaja dilakukan dengan tujuan menipu seolah sebagai suatu kebenaran,” ujar pengajar Universitas Nahdlatul Ulama Al Ghazali (Unugha) Cilacap M. Fatikhun pada webinar literasi digital yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, Sabtu (14/8/2021).
Diskusi virtual bertajuk ”Menjadi Pejuang Anti Kabar Bohong” yang dipandu moderator presenter Safiera Aljufry itu, seluruhnya dihadiri empat narasumber. Selain M. Fatikhun, ada Septa Dinata (peneliti Paramadina Public Policy), Totok Jumantoro (Kasi Pendidikan Madrasah Kantor Kementerian Agama Kabupaten Wonosobo), dan Handono (Kepala MAN Salatiga). Hadir juga content creator Syafil Syaf selaku key opinion leader.
Fatikhun mengatakan, ada tiga jenis hoaks menurut Unesco. Pertama, misinformasi: informasinya tidak benar tapi yang menyebarkan punya keyakinan benar dan pelaku tidak punya niat buruk, karena mungkin sekadar mengingatkan (warning). Kedua, disinformasi: info tidak benar atau sengaja direkayasa untuk membohongi masyarakat demi meraih keuntungan tertentu.
Ketiga, malinformasi: infonya punya cukup unsur kebenaran, namun penyajiannya dikemas sedemikian rupa untuk kepentingan tertentu dan lebih merugikan pihak lain ketimbang berorientasi pada kepentingan publik.
”Ada beberapa bentuk hoaks, semisal pelecehan (verbal), ujaran kebencian dan diskriminasi, serta penyebaran informasi hasil pelanggaran privasi dan data pribadi. Caranya bisa dengan memangkas bagian gambar atau teks narasi untuk mendukung kebohongan,” kata Fatikhun di depan lebih dari 200 partisipan webinar siang tadi
Di samping pemahaman literasi dan kecakapan berdigital, lanjut Fathikun, pengguna media digital mesti menjaga diri dari hoaks. Adapun untuk melawan hoaks, bisa dilakukan dengan cara membaca dengan seksama dan jangan hanya membaca judul, berpikir kritis, logis dan jernih alias tidak mudah terpancing atau ’baperan’, tabayyun (cek dan ricek), sumbernya harus kredibel, serta harus menjaga jari kita (jangan asal share), saring sebelum sharing.
Menurut Fathikun, sebuah informasi berita dapat dianggap tidak benar, dikategorikan berdasarkan bentuk dan tujuan pembuatannya menjadi: satire/parodi, konten yang menyesatkan, konten tiruan dari sumber asli, konten rekaan, hubungan yang salah, misal antara judul dengan isi, visualisasi tidak sesuai, konteksnya salah, dan konten yang dimanipulasi.
Selanjutnya, apabila merasa ragu atas berita dan informasi yang kita terima, maka cek fakta dapat dilakukan. Misalnya melalui website cekfakta.com, turnbackhoax.id, stophoax.id mafindo atau melaporkan ke aduan konten.id. Jika berupa pesan instan, maka bisa lapor ke telegram kominfo @chatbotantihoax, Whatsapp Mafindo +62 855 7467 6701, atau laporkan konten hoaks ke aduankonten.id Whatsapp +62 811 922 4545.
”Cara mengenali hoaks, cek URL-nya kredibel atau tidak, periksa halaman situs yang menampilkan informasi, ada kalimat permintaan penyebaran atau tidak, cek kebenaran gambar di google image,” tegas Fatikhun.
Berikutnya, Kasi Pendidikan Madrasah Kantor Kementerian Agama Kabupaten Wonosobo Totok Jumantoro mengatakan, etis bermedia digital harus mengacu pada AlQuran: “Wahai orang-orang yang beriman. Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain, nanti (pahala) segala amalmu bisa terhapus sedangkan kamu tidak menyadari.” (Surat Al Hujurat Ayat : 2)
Adapun untuk cakap dalam bermedia digital harus bersandar pada Surat Al Hujarat, ayat 6 yang bunyinya: “Wahai orang-orang yang beriman. Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.”
Totok tak memungkiri adanya dampak positif dan negatif penggunaan media digital, khususnya media sosial. Dampak positif penggunaan media sosial, yakni sebagai media penyimpanan informasi, menyambung tali silaturahmi, sebagai media dakwah, dan sarana pengembangan keterampilan dan sosial.
”Dampak negatifnya, dapat memunculkan tindak kriminal, susah bersosialisasi dengan orang sekitar, dapat menciptakan sifat egois, kurang sadar terhadap lingkungan, bahkan dapat membuat seseorang lalai dan tidak bisa membagi waktu,” tegas Totok menutup paparan.