Jumat, Desember 27, 2024

Cerdas bermasyarakat di ruang digital yang multikultural

Must read

Multikuturalisme tak hanya keadaan yang ditemukan di dunia nyata, namun juga di ranah dunia digital. Prinsip-prinsip menjaga keragaman dan kerukunan di tengah multikulturalisme di ruang digital pun tak jauh berbeda dengan dunia nyata.

”Ciri masyarakat multikultural itu ketika ada variasi dari perbedaan budaya dan juga kebebasan dalam menjalankan perbedaan dalam beragama, bahasa, dan adat sosial, baik di dunia nyata dan dunia maya,” kata dosen UHN IGB Desyanti Suka Asih saat menjadi pembicara webinar literasi digital bertema ”Memahami Multikulturalisme di Ruang Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Blora, Jawa Tengah, Kamis (30/9/2021).

Dalam webinar yang diikuti ratusan peserta itu, Desyanti menuturkan pengguna ruang digital juga perlu memahami bahwa multikulturalisme menuntut adanya kepedulian nilai semua kelompok etnik yang menekankan toleransi budaya, bahasa, dan agama. “Jadi meskipun pengguna digital berbeda antara satu dengan lainnya mereka tidak kehilangan identitas itu,” kata Desyanti.

Desyanti mengungkap multikultural yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang dapat diterapkan di ruang digital seperti toleransi kehidupan beragama di dalam masyarakat agar dapat mempererat hubungan dan kesatuan dalam bernegara. “Sikap saling berbaur antara satu dengan yang lain tanpa memperhatikan latar belakang, orang-orang yang memiliki satu visi dan misi dengan kita,” ujarnya.

Multikulturalisme juga menuntut sikap tidak saling menyinggung kepercayaan yang dianut masyarakat lainnya. ”Orang yang berasal dari suku Jawa, Bali, Madura atau lainnya yang berada dalam satu organisasi yang sama tidak akan mempermasalahkan latar belakang suku yang dimiliki karena memiliki tujuan bersama untuk dicapai dalam organisasi tersebut,” katanya.

“Multikulturalisme ruang digital tetap perlu peraturan anti diskriminasi dalam penggunaan fasilitas publik,” tegas Desyanti. 

Desyanti menambahkan, untuk menjaga multikulturalisme dibutuhkan etika yang berlaku di dunia maya atau yang dikenal dengan istilah netiket. ”Menjaga multikulturalisme dengan tata krama dalam menggunakan internet, jadi harus disadari bahwa kita berinteraksi dengan manusia nyata di jaringan lain, bukan sekedar huruf di layar monitor namun manusia sesungguhnya,” kata dia.

Narasumber lain webinar ini, Dosen Universitas Negeri Semarang Arif Hidayat menyebut ciri-ciri peradaban digital yakni segala sesuatunya bersifat real time. ”Dalam peradaban digital kerja jaringan mempercepat produk pelayanan, ada kompetitor, saling berbagi dan SDM sebagai modal kerja utama disambing teknologi big data,” kata Arif.

Dengan segala kemajuan itu, ujar Arif, generasi milenial digital perlu mengisi kemerdekaan lebih aktif di ruang digital dengan berbagi kebermanfaatan, tak memandang SARA lagi.

“Tapi bersatu dengan berbagai latar belakang untuk bergerak bersama membawa perubahan besar dan mewaspadai berbagai provokasi dengan cara bijak menggunakan teknologi,” kata dia. 

Arif menegaskan, kekayaan terbesar di era digital sebenarnya adalah manusianya. Sebab di era digital ini hanya manusia yang memiliki keterampilan, kepemimpinan, bisa bekerja sama dalam tim dan memiliki kelincahan dan kematangan budaya.

“Multikulturaisme bisa dibuktikan dengan berbagai mahasiswa beragam latar belakang mampu bekerja sama dalam lingkungan yang berbeda baik di dalam dan luar negeri,” kata dia. 

Webinar ini juga menghadirkan narasumber lain seperti Staf Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi Fisip Universitas Bengkulu yang juga anggota Japelidi, Lisa Adhrianti, Ketua Majelis Kepedulian Masyarakat Blora Tejo Prabowo serta dimoderatori Neshia Sylvia juga Rinna Setyawan selaku key opinion leader. (*)

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article