Kondisi pandemi memang musibah. Namun, dengan adanya teknologi, justru membuka peluang baru untuk beralih dan beradaptasi dengan cara-cara virtual. Tema ”Kreatif dan Produktif dari Rumah di Masa Pandemi” kembali dibahas dalam webinar yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Selasa (31/8/2021). Kegiatan ini merupakan bagian dari Program Nasional Literasi Digital: Indonesia Makin Cakap Digital yang dilaksanakan untuk mendukung percepatan transformasi digital di Indonesia.
Dipandu moderator Triwi Dyatmoko (entertainer), diskusi virtual ini menghadirkan empat narasumber: Diana Aletheia Balienda (entrepreneur), Evelyne Henny Lukitasari (dosen UIN Sahid Surakarta), Ahmad Khoirul Anwar (dosen UIN Sahid Surakarta), dan Achmad Uzair Fauzan (dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta). Selain itu, hadir pula Venabela Arin (tv presenter) sebagai key opinion leader. Masing-masing narasumber menyampaikan materi diskusi dengan pendekatan empat pilar literasi digital: digital ethics, digital culture, digital skills, dan digital safety.
Saat memberikan kata sambutan di awal webinar, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyampaikan, transformasi digital telah mengubah tatanan pola hidup dengan cepat. Karena itu, masyarakat harus cepat beradaptasi dengan menyelami lebih dalam lagi dunia digital. Bukan sekadar sebagai tempat hiburan tetapi untuk menyebarkan hal-hal positif serta tidak memperkeruh dengan hal-hal negatif.
Memantik diskusi, Diana Aletheia Balienda mengingatkan, kondisi telah memaksa masyarakat menggunakan teknologi digital untuk memudahkan aktivitas dan mempercepat mobilitas. Perubahan yang cukup mencolok dari transformasi adalah tumbuhnya kebiasaan masyarakat yang mengandalkan belanja daring untuk memenuhi kebutuhan harian, serta menggunakan teknologi untuk mengasah kemampuan lain.
Namun, Diana memperingatkan agar dalam beraktivitas daring masyarakat tetap memperhatikan keamanan digital dan waspadai potensi kejahatan di dunia digital. Dalam jual beli online, sebagai masyarakat digital perlu memastikan online shop yang akan digunakan itu dapat dipercaya serta membaca dan memahami kebijakan yang diterapkan toko daring. Memilih metode pembayaran yang aman serta menyimpan bukti transaksi. Juga, selalu menggunakan perangkat pribadi untuk bertransaksi.
”Jangan mudah terpengaruh dengan narasi yang menggiurkan. Untuk meningkatkan keamanan aktivitas daring kita perlu mawas diri dan waspada saat berada di ruang digital. Tingkatkan juga pengetahuan terkait data apa saja yang perlu dilindungi. Kembangkan cara berpikir kritis dan tidak mudah percaya pada setiap informasi dan budayakan membaca secara utuh,” ujar Diana kepada hampir 800 peserta webinar.
Menyambung diskusi, Ahmad Khoirul Anwar mengatakan, dengan adanya kebijakan PPKM dan WFH seharusnya membuat masyarakat bisa berpikir kreatif dan lebih produktif. Pandemi seharusnya menjadi turning point untuk mengembangkan kemampuan diri, memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya serta memaksimalkan potensi diri.
”Kita harus bisa melihat peluang dengan kondisi saat ini. Misalnya dengan memanfaatkan barang-barang di sekitar untuk difungsikan kembali menjadi kerajinan, sehingga dapat memberikan nilai ekonomi lalu memasarkan hasil kreasi itu ke media sosial. Atau, dengan teknologi yang tersedia, kita bisa mengembangkan diri dengan membuat konten-konten digital, membuat konten video, membuat ilustrasi, animasi, dan desain grafis. Potensi-potensi tersebut dapat kita kembangkan dengan memanfaatkan teknologi dan internet,” kata Khoirul.
Sementara itu, Evelyne Henny Lukitasari menyampaikan, dalam memasuki transformasi digital salah satu hambatannya adalah budaya atau kebiasaan. Maka, sebagai agen perubahan, manusia juga harus mampu beradaptasi dengan budaya-budaya baru.
”Untuk membangun budaya digital, diperlukan partisipasi setiap individu untuk mencapai tujuan bersama. Kemudian remediasi, bagaimana kita bisa mengubah budaya lama menjadi budaya baru yang lebih bermanfaat. Misalnya, menggunakan internet dan mesin penelusuran untuk menggali referensi literasi. Selain itu, untuk membangun budaya digital juga memerlukan yang namanya bricolage. Yakni, bagaimana di masa kritis ini kita bisa memanfaatkan hal-hal yang sudah ada sebelumnya untuk membentuk hal baru,” jelas Evelyne.
Dari perspektif lain, Achmad Uzair Fauzan menambahkan, dalam segala aktivitas daring warga digital tidak boleh meninggalkan etika. Sebab, etikalah yang menuntun pengguna dalam menentukan apakah yang dilakukannya itu baik atau buruk. Sebab, kreatif dan produktif itu ada pagarnya. Di Indonesia, etika berdigital fokus pada kemampuan untuk menggunakan media digital tanpa melanggar hak digital orang lain.
”Ada empat syarat dalam etika digital yang harus kita pegang. Yakni, sadar terhadap info mana yang akan kita ambil, memastikan aktivitas daring yang dilakukan merupakan kebaikan. Lalu, memiliki integritas atau kejujuran dan tanggung jawab,” kata Uzair, memungkas diskusi. (*)