Diskusi adalah pembicaraan atau pertukaran pemikiran untuk memperoleh pemahaman penyebab suatu permasalahan berikut solusi penyelesaiannya. Di mana pun ruang diskusi digelar, tujuannya adalah untuk memperoleh kejelasan dan mencapai kebenaran kesimpulan.
Namun tahukah Anda kapan tradisi diskusi sebagaimana yang kita lakukan sekarang ini dimulai? Tradisi diskusi sesungguhnya telah dikenal jauh pada masa Sebelum Masehi (SM). Pada masa itu, seorang tokoh filsuf Yunani Socrates selalu berkeliling mengajarkan pengetahuan dengan cara berdialog dengan orang yang ditemui.
Metode dialog Socrates itu dikenal dengan istilah ’dialektika’ atau ’maieutike’. Istilah dialektika berasal dari bahasa Yunani ’dialegestai’ yang berarti bercakap-cakap atau berdialog. Metode Socrates dinamakan dialektika karena di dalamnya, dialog atau percakapan mempunyai peranan sangat hakiki.
Socrates mengusulkan nama lain untuk menunjukkan metode dialognya, yakni seni kebidanan atau dalam bahasa Yunani dinamai ’maieutike tekhne’. Artinya, seperti ibunya yang seorang bidan, demikian juga Socrates membidani jiwa-jiwa. Socrates membedah pengetahuan yang terdapat dalam jiwa-jiwa orang lain. Untuk itu ia juga diberi gelar sebagai ”Bapak Diskusi”.
”Dialog atau dialektika bagi Socrates bertujuan untuk menciptakan konsep-konsep tentang kebenaran dan kebaikan,” ujar staf pengajar Universitas Tujuh Belas Agustus 1945 Surabaya Bambang Kusbandrijo pada webinar literasi digital yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Jumat (13/8/2021).
Bambang sengaja menjelaskan perspektif historis kata diskusi mengingat saat ini banyak diskusi yang dilakukan telah melenceng dari makna dan tujuan yang sebenarnya. Tujuan diskusi yang secara filosofis adalah alat atau cara memperoleh kebenaran dan kebaikan, tak jarang malah berujung pada pertentangan pendapat nir-etika. Tak hanya di dunia nyata, di dunia maya pun diskusi seringkali berakhir dengan perpecahan dan pertengkaran saling lempar kata-kata kotor.
”Selain memahami etika, diskusi yang baik di dunia maya juga harus menghargai dan menghormati pendapat dan argumentasi yang dikemukakan lawan bicara. Diskusi juga mensyaratkan pemahaman baik terhadap permasalahan yang dibicarakan,” ungkap Bambang di depan 250-an partisipan webinar.
Bambang mengatakan, sudah lama ruang diskusi publik platform digital kita dipenuhi dengan hal-hal negatif seperti hoaks dan ujaran kebencian. Selain tak beretika, hoaks dan ujaran kebencian dapat merusak ruang publik yang mestinya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk tujuan kebaikan dan kebenaran.
”Ada pendapat yang menyatakan hoaks adalah anak kandung dari post-truth. Post-truth digambarkan sebagai sebuah rentang masa yang cenderung mengabaikan fakta dan kebenaran, sedangkan hoaks bisa diartikan sebagai berita atau informasi palsu atau kabar bohong,” jelas Bambang.
Bambang menegaskan, kini semakin tipis batas antara pembenaran dan kebenaran. Untuk itu diperlukan kesiapan yang matang dari masyarakat dalam memanfaatkan media sosial. Bijak bermedia sosial identik dengan cerdas, memahami dan berempati dengan cara konstruktif, bukan destruktif.
Narasumber selanjutnya, pengajar sekaligus peneliti Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta Ahmad Wahyu Sudrajad menyatakan, sebelum muncul ruang digital, ruang diskusi publik bermula dari perkembangan kelas borjuis pada abad ke-16 dan 17 di Inggris, Jerman, dan Prancis. Ruang publik pada masa itu berupa balai kota, warung kopi, salon, dan pada akhirnya ditemukan newsletter dari para penguasa atau pedagang.
”Isi dari newsletter ini adalah seputar harga-harga barang, pajak, serta peraturan pemerintah. Sementara, ruang publik modern awal adalah surat kabar (1700-an), kemudian radio (1920-an), dan televisi (1950-an), serta yang terakhir adalah internet (1970-an). Kini, Internet disebut juga sebagai ruang publik post-modern,” papar Wahyu mengutip yang disampaikan Salvatore (2014: 24).
Dalam teori klasik, lanjut Wahyu, ruang publik dibentuk berdasarkan kewarganegaraan yang berbasiskan pada tanah (ius soli) maupun juga darah (ius sanguinis). Namun adanya cyberspace sebagai ruang publik kemudian menciptakan adanya deteroterialisasi kewarganegaraan, sehingga memunculkan basis kewarganegaraan internet (netizenship).
Bentuk ruang publik virtual di media baru (net-based public sphere), menurut Wahyu, bisa diklasifikasi dalam lima kategori, yaitu:
e-government: Ruang pemerintah dalam memberikan informasi atau pelayanan kepada warganya, advocacy atau activist domain: ruang publik yang diciptakan internet untuk berdiskusi.
Berikutnya civic forums: Ruang publik baru, sesama warga mampu bertukar pikiran, informasi, dan opini tanpa harus bertemu langsung. Kemudian, parapolitical domain: media baru juga mendorong lahirnya ikatan sosial, budaya, dan politik yang mampu mengkonstruksi identitas bersama.
”Dan yang sekarang kita jalani adalah journalism domain: media baru telah memperluas hak warga menjadi produser berita dan tidak terbatas pada wilayah tertentu melainkan tersebar luas,” jelas Wahyu menutup paparannya.
Diskusi virtual yang dipandu oleh moderator entertainer Dannys Citra itu, juga menampilkan narasumber Isryokh Fuaidi (dosen Institut Pesantren Mathai’ul Falah Pati), Diana Aletheia Balienda (entrepreneur, digital trainer & graphologist), serta penyanyi tradisional dan dalang perempuan Woro Mustiko selaku key opinion leader.