Kementerian Komunikasi dan Informatika RI menggelar webinar literasi digital untuk masyarakat Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, Jumat (8/10/2021) dengan tema “Adaptasi Empat Pilar Literasi Digital untuk Siswa”. Kegiatan ini merupakan bagian dari gerakan nasional Literasi Digital: Indonesia Makin Cakap Digital yang dilaksanakan untuk meningkatkan literasi digital masyarakat.
Diskusi virtual ini dipandu oleh entertainer Dannys Citra dengan menghadirkan empat narasumber: Septa Dinata (researcher Paramadina Paramadina Public policy), Waryani Fajar Riyanto (dosen UIN Sunan Kalijaga), Frans Djalong (dosen Universitas Gadjah Mada), Ahmad Faridi (sub koordinaror perencanaan data informasi Kemenag Jateng). Serta Gina Sinaga (public speaker) yang hadir sebagai key opinion leader. Masing-masing narasumber membawakan materi dengan perspektif empat pilar digital: digital ethics, digital skills, digital safety, dan digital culture.
Dosen Universitas Gadjah Mada Frans Djalong mengatakan transformasi digital memunculkan budaya baru, yaitu budaya digital. Parameter budaya digital menciptakan keterhubungan antara satu dengan yang lain melewati batas wilayah dan budaya hingga terjalin jejaring yang memungkinkan untuk melakukan kolaborasi dalam meningkatkan pengetahuan dan menciptakan inovasi.
Dalam konsep pendidikan, budaya digital sangat strategis dan menjadi investasi masa depan karena dapat menciptakan sumber daya manusia yang berdaya cipta, berjejaring, bekerjasama, dan berdaya tahan terhadap krisis atau perubahan yang terduga.
“Teknologi informasi menjadi sumber pembelajaran pengetahuan yang dapat diakses secara mudah. Media digital menjadi sarana berjejaring dan berkolaborasi, menciptakan kebiasaan berdiskusi bertukar pikiran mengenai bahan pembelajaran agar cara kerja pikiran dan perasaan tidak kalah canggih dari cara kerja komputer dan internet,” jelas Frans Djalong.
Budaya digital tak luput dengan risiko-risikonya. Ruang digital menjadi tempat perjumpaan dengan banyak manusia, pengetahuan, aliran dan kepentingan. Artinya ada kerentanan perbedaan sehingga harus cakap mengantisipasi dan mengelola risikonya.
“Dalam pendidikan digital, risiko harus dikenali, dipahami, dicegah, dan dikelola baik secara pribadi maupun secara bersama oleh komunitas pendidikan,” ujarnya.
Sub Koordinaror Perencanaan Data Informasi Kemenag Jateng Ahmad Faridi menambahkan bahwa setiap interaksi itu selalu berlandaskan pada etika baik itu ketika berada di dunia nyata pun di dunia digital, ada aturan yang haru dipedomani agar tercipta lingkungan digital yang nyaman.
Ada etika yang merupakan sistem nilai dan norma moral yang menjadi pegangan dalam mengatur tingkah lakunya baik ketika berinteraksi di dalam kelompok atau antar individu. Ada etiket atau tata cara berinteraksi dengan masyarakat, kita harus selalu menyadari bahwa di ruang digital pun menghadapi karakter manusia nyata.
“Kita semua manusia bahkan sekalipun di dunia maya, maka ikutilah aturan seperti halnya di dunia nyata. Jangan seenaknya sendiri karena itu berisiko, ada jejak digital yang tidak bisa hilang. Maka hati hati dalam bertindak, berkomentar dan menulis,” ujar Ahmad Faridi.
Bermacam fasilitas di internet memungkinkan seseoang untuk bertindak etis juga tidak etis. Dalam berkomunikasi di media sosial misalnya jangan sampi menyebar tangkapan layar percakapan privat ke ruang publik atau kepada orang lain. Hal ini selain melanggar etika juga melanggar privasi orang lain, bila diusut hal tersebut masuk ke ranah UU ITE.
“Dalam berkomunikasi di media sosial etiket yang harus dipahami adalah tidak membawa isu SARA, cermat dan bijak memilih stiker dan emoji. Saat berkomunikasi melalui e-mail harus disampaikan dengan bahasa yang sopan, diawali dan diakhiri dengan salam, menggunakan huruf kapital sesuai keperluannya, serta mengisi subjek e-mail dan mengenalkan diri ketika itu dikirim ke orang yang tidak dikenal, atau keperluan formal lainnya,” urainya. (*)